SITTI KHONISAH
Karya; ( Aerin Nahl )
Dia tinggi semampai, kulitnya bersih
tanpa noda, matanya bersinar, bulat, bening. Siapa saja yang melihatnya takkan
bosan, akan selau merindukan bola matanya yang bak mutiara hitam. Dia tak butuh
produk pelangsing untuk memperindah tubuhnya ataupun alat kecantikan, karena
memang sudah terlahir dengan tubuh yang perffect-
lah dan wajah yang cantik di mataku.
Sungguh sempurna sosok wanita yang
satu ini. Selain fisik yang indah, ia juga memilki akhlak yang tak kalah
indahnya. Wajahnya selalu dihiasi dengan senyuman manis, semanis madu plus
lesung pipi. Tuturnya penuh dengan kerendahan dan kesopanan. Dia takkan berkata
“ iyo”(1) tapi
selalu berkata “ iye”. Dia adalah wanita Bugis asli yang sangat mengerti
tatakrama yang pernah kutemui selama hidup. Dan tak lupa aku sebutkan. Dia
adalah wanita yang menutup auratnya dengan sempurna, menutupi fisik yang ku anggap
sempurna itu. Kepalanya ia balut dengan kerudung hingga menutupi dadanya. Dan
ia julurkan Jilbab/gamis keseluruh tubuhnya. Yang nampak hanyalah wajahnya yang
berseri bak Bidadari dan tangannya yang halus bak kain sutera. Kurasa dia lah
wanita idaman kaum Adam. Wanita yang dirindukan Surga.
***
Ketiga temanku tengah asyik
bercerita. Ada Jenab, Vinki dan juga Ude. Entah apa yang sedang mereka
ceritakan, sepertinya tak bisa kusadap barang sekata pun. Apakah karena musik
jazz yang sengaja aku besarkan volumenya. Sedangkan aku hanya terdiam
menjalankan si Avanza ketempat tujuan.
Akhirnya kami berempat tiba di sebuah
tempat yang sangat indah. Sebuah pemandangan yang sangat menawan. Menjadikan
hati yang gersang menjadi bening sebening embun di pagi hari. Kembali aku
melamun. Temanku berlarian menuju sebuah danau yang airnya tak sebening
permata. Tapi, biru kehijauan. Menandakan danau itu sangatlah dalam.
Ketiga temanku terus berlari, berlari
seperti bocah mengejar layang- layang putus. Hingga mereka tiba ditepi danau.
Dan melompat. Melompat? Ujarku seketika. Mereka telah melompat kedasar danau
itu. Danau yang tak ku tahu danau apa namanya. Ketiga temanku menghilang bak
tertelam pusaran air, hitam dan gelap. Tak berapa lama kemudian mereka bertiga
muncul. Kulihat sebagian tubuhnya telah berubah. Berubah menjadi ikan. Apakah
mereka terkena kutukan atau semacamnya? Lantas mengapa mereka tiba- tiba
berubah menjadi makhluk yang aneh. apakah mereka putri Duyung seperti dalam
cerita dongeng sebelum tidur, yang acapkali ibu bacakan untukku menjelang tidur
lelapku? Oh…tidakkkk… aku berteriak sejadi- jadinya. Tapi sama sekali tak ada
orang yang mendengarku. Aku seperti orang bisu. Pita suaraku seakan terputus.
Aku hilang…
“Agghh….” Aku terjatuh menimpahi
guling yang lebih dulu terjatuh ke lantai keramik. Ternyata aku bermimpi,
melihat diriku bersama teman- teman semasa SMA ku. Lagi- lagi mimpi yang aneh.
Mimpi tak berlogika. Dan lagi- lagi suara adzan yang membangunkanku dari tidur
panjang yang cukup lelap.
“Allahu Akbar…. Allahu Akbar….”
Terdengar suara Adzan yang berasal dari surau dekat rumah kontrakanku, setiap
subuh. Dengan suara Mu’adzin yang sama. Aku tahu, pasti hanya kaset yang
diputar di surau itu. Suara adzan ala Saudi Arabia. Suara ini juga biasa aku
dengar di salah satu stasiun TV swasta. Suara Adzan yang tak pernah bosan
mengingatkanku untuk Sholat, meninggalkan aktivitas duniaku. Beribadah kepada
Sang Pencipta.
***
Inilah aku. Aku adalah seorang mahasiswa yang
berpisah jauh dari kedua orangtuaku di sebuah desa, dengan pulau yang berbeda.
Mereka menetap di Kalimantan sedangkan aku di kaki Sulawesi. Tepatnya di
Makassar, tempat dimana terdapat banyak pedagang “pisang ngepe”. Ada pantai
Losari tempat melabuhkan cinta dua insan. Ciee…sok romantis. Terdapat banyak
penjual minyak Tawon di Jalan Sulawesi, sirup Markisa dan makanan khasnya
seperti Coto dan Konro yang mantap pisan euy…!
Sungguh, ada banyak hal yang aku temui di kota ini. Termasuk Sitti Khonisah.
Seorang teman. Seorang sahabat. Juga saudara seimanku. Hampir setahun ukhuwah
terjalin kuat diantara kami. Antara aku dan Nisa. Masih saja sangat berbeda.
Dia lah wanita mulia itu. Wanita yang penuh
dengan kelebihan, kelembutan dan kasih sayang. Wanita yang menyeka air mataku
saat ku sedih, saat ku rindu dengan ayah ibuku. Wanita yang mengajariku
bagaimana menatap kehidupan ini. Dan wanita yang membuatku meninggalkkan
keyakinanku yang selalu meragukanku. Dan memilih untuk menjadi seorang muallaf. Delapan bulan yang lalu, dan
sebenarnya aku memang krisis keyakinan sejak itu, sejak dulu, sejak kecil malah.
Seperti tak memiliki keyakinan, aku tak pernah yakin dengan Tuhanku saat itu.
Dihatiku, kenapa manusia bisa menciptakan menusia? Apakah benar Tuhan itu
berwujud manusia? Kenapa harus disembah? Ah… sungguh ada banyak kata “Kenapa”
dibenakku. Dan Nisa lah yang membuatku menemukan sebuah ketentraman hati, jati
diri dan sebuah pemahaman, kebenaran yang tak pernah terbantahkan. Aku telah
bersyahadat di depannya dan didepan seorang Ustadz Abdul Rahman. Imam Masjid di
kampus kami.
Awalnya kedua orang tuaku tidak
setuju, aku kira mereka takkan lagi menganggapku sabagai anaknya. Tapi, lama-
kelamaan seiring berjalannya waktu, setelah Nisa menjelaskan sesuatu kepada
ibuku via telepon, pada bulan Mei lalu. Entah apa yang dipaparkan Nisa kepada
ibuku saat itu. Aku juga tak pernah tahu, karena memang tak pernah bertanya
kepadanya. Itulah Nisa. Ia sangat mengerti perasaan seorang wanita. Ia lebih
memilih berbicara dengan ibuku dari pada ayahku, padahal ibuku seorang katolik
fanatik sedangkan ayahku biasa saja dalam memaknai sebuah keyakinannya. Dan
yang membuatku kagum kepadanya. Karena Nisa berhasil merobohkan keegoisan itu.
Keegoisan kedua orang tuaku. Keegoisan karena tak ingin mendengarkan alasanku
untuk berpindah keyakinan.
Ya, diawal tahun baru Hijriyah…
disaat hujan lebat. Disaat drainase tak sanggup lagi menampung air hujan. Disaat
kicauan burung tak terdengar lagi. Disaat aku benar- benar yakin seyakin-
yakinnya. Kusampaikan keinginanku untuk berpindah keyakinan kepada Nisa. Sitti
Khonisah sang Hafidzah. Kupanggil ia
dengan Nisa saja.
“Apakah Elis
ikhlas?” Tanya Nisa dengan senyuman meyakinkan.
“Ikhlas?
Maksudmu apakah aku benar- benar ingin memeluk agama ini? Insya Allah…” Jawabku. Kuucapkan sebuah kalimat yang tak asing lagi
dikalangan orang Muslim. Sebuah kata yang juga sering diucapkan Nisa. Dan tiba-
tiba ucapan itu meluncur begitu saja dari mulutku dengan lancarnya. Sempat ku tangkap
raut muka Nisa. Sepertinya ia terkejut mendengarkan ucapanku itu. Insya Allah… walaupun saat itu aku tak
mengerti artinya apa. Tapi, batinku serasa sejuk melafazdkannya. Aku sedikit
bergetar dan takut. Hujan pun turun semakin lebatnya. Aku membisu. Suasana
semakin mencekam. Gelap. Matahari tak nampak lagi, berselimutkan awan hitam.
“Datanglah besok ketempat itu.”
Ucap Nisa sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan, tempat yang ku anggap
sebagai gua pertapaannya. Ya… Masjid. Sebuah tempat peribadatan, tempat
mencurahkan perasaan dengan Tuhan. Tempat yang sering dikunjungi orang- orang
yang bertaqwa. Menurutku. Dan sungguh aku kagum akan hal ini. Aku sering
membayangkan diriku bagian dari bangunan artistik itu. Bangunan yang sangat
kontras dengan gaya timur tengahnya.
***
Aku saat ini, adalah seorang
muslimah. Nisa mulai mengajariku banyak hal tentang agamanya, juga agamaku.
Baca tulis al- Quran, bahkan mulai menghapal beberapa surah Juz Amma. Awalnya
aku sangat kesulitan. Aku terbata- bata, lidahku seakan terlilit. Tapi, Nisa
pantang menyerah mengajariku ini dan itu. Bagaimana cara mensucikan diri
selepas menstruasi, cara berwudhu, sholat, puasa, menutup aurat dengan baik dan
benar. Semua diajarkan Nisa. Rukun iman, rukun Islam, bahkan cara makan pun
diajarkan, sepertinya ia tak ingin melewatkan moment keIslamanku. Keinginanku
untuk mempelajari agama ini lebih dalam lagi. Nisa pernah berkata, “Untuk
melihat bagaimana Islam itu, maka jangan lihat siapa penganutnya, tapi lihatlah
apa yang diajarakannya, bacalah kitabnya”. Tapi, bagiku melihat dan mengenal
Nisa, sudah cukup untuk mengenal Islam. Dia lah
yang mengetuk hatiku. Tingkah lakunya yang menggerakkanku. Dia begitu
taat dan terbuka dengan sesama manusia. Tak pandang bulu. Tak pandang manusia
dari kalangan mana yang ia temui. Nisa adalah seorang Muslimah yang senang
menebar salam. Aku senang ia menyapaku dengan ucapan,
“ Assalamu’alaikum
ya ukhti….”
“ Waalaikum salam…..” Jawaban ini adalah
doa. Nisa lah yang menjelaskan maksud dari sebuah salam ternyata sebuah doa dan
tentunya memperkuat tali silaturahmi.
Sungguh… aku
makin jatuh cinta dengan Islam.. dan sangat berterima kasih dengan Sitti
Khonisah karena telah membantuku untuk lebih jauh mengenal Islam dengan baik
dan benar.. sehingga diriku bukanlah seorang Muslimah simelekete… but, be a trua
Muslimah and make me proud…anaa uhibbukifillah
ya ukhti^_^ coz, Allah azza wa jalla
Catatan kaki;
1)
“Iyo”
atau “iye”= iya.
Bumi Allah, 3 Muharrom 1432 H
Makassar, 9 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar