Rabu, 06 Februari 2013

SEBUAH CERPEN "SITTI KHONISAH"


SITTI KHONISAH

           Karya; ( Aerin Nahl )
           Dia tinggi semampai, kulitnya bersih tanpa noda, matanya bersinar, bulat, bening. Siapa saja yang melihatnya takkan bosan, akan selau merindukan bola matanya yang bak mutiara hitam. Dia tak butuh produk pelangsing untuk memperindah tubuhnya ataupun alat kecantikan, karena memang sudah terlahir dengan tubuh yang perffect- lah dan wajah yang cantik di mataku.
           Sungguh sempurna sosok wanita yang satu ini. Selain fisik yang indah, ia juga memilki akhlak yang tak kalah indahnya. Wajahnya selalu dihiasi dengan senyuman manis, semanis madu plus lesung pipi. Tuturnya penuh dengan kerendahan dan kesopanan. Dia takkan berkata “ iyo”(1) tapi selalu berkata “ iye”. Dia adalah wanita Bugis asli yang sangat mengerti tatakrama yang pernah kutemui selama hidup. Dan tak lupa aku sebutkan. Dia adalah wanita yang menutup auratnya dengan sempurna, menutupi fisik yang ku anggap sempurna itu. Kepalanya ia balut dengan kerudung hingga menutupi dadanya. Dan ia julurkan Jilbab/gamis keseluruh tubuhnya. Yang nampak hanyalah wajahnya yang berseri bak Bidadari dan tangannya yang halus bak kain sutera. Kurasa dia lah wanita idaman kaum Adam. Wanita yang dirindukan Surga.
***
            Ketiga temanku tengah asyik bercerita. Ada Jenab, Vinki dan juga Ude. Entah apa yang sedang mereka ceritakan, sepertinya tak bisa kusadap barang sekata pun. Apakah karena musik jazz yang sengaja aku besarkan volumenya. Sedangkan aku hanya terdiam menjalankan si Avanza ketempat tujuan.
            Akhirnya kami berempat tiba di sebuah tempat yang sangat indah. Sebuah pemandangan yang sangat menawan. Menjadikan hati yang gersang menjadi bening sebening embun di pagi hari. Kembali aku melamun. Temanku berlarian menuju sebuah danau yang airnya tak sebening permata. Tapi, biru kehijauan. Menandakan danau itu sangatlah dalam.
            Ketiga temanku terus berlari, berlari seperti bocah mengejar layang- layang putus. Hingga mereka tiba ditepi danau. Dan melompat. Melompat? Ujarku seketika. Mereka telah melompat kedasar danau itu. Danau yang tak ku tahu danau apa namanya. Ketiga temanku menghilang bak tertelam pusaran air, hitam dan gelap. Tak berapa lama kemudian mereka bertiga muncul. Kulihat sebagian tubuhnya telah berubah. Berubah menjadi ikan. Apakah mereka terkena kutukan atau semacamnya? Lantas mengapa mereka tiba- tiba berubah menjadi makhluk yang aneh. apakah mereka putri Duyung seperti dalam cerita dongeng sebelum tidur, yang acapkali ibu bacakan untukku menjelang tidur lelapku? Oh…tidakkkk… aku berteriak sejadi- jadinya. Tapi sama sekali tak ada orang yang mendengarku. Aku seperti orang bisu. Pita suaraku seakan terputus. Aku hilang…
             “Agghh….” Aku terjatuh menimpahi guling yang lebih dulu terjatuh ke lantai keramik. Ternyata aku bermimpi, melihat diriku bersama teman- teman semasa SMA ku. Lagi- lagi mimpi yang aneh. Mimpi tak berlogika. Dan lagi- lagi suara adzan yang membangunkanku dari tidur panjang yang cukup lelap.
              “Allahu Akbar…. Allahu Akbar….” Terdengar suara Adzan yang berasal dari surau dekat rumah kontrakanku, setiap subuh. Dengan suara Mu’adzin yang sama. Aku tahu, pasti hanya kaset yang diputar di surau itu. Suara adzan ala Saudi Arabia. Suara ini juga biasa aku dengar di salah satu stasiun TV swasta. Suara Adzan yang tak pernah bosan mengingatkanku untuk Sholat, meninggalkan aktivitas duniaku. Beribadah kepada Sang Pencipta.
***
                Inilah aku. Aku adalah seorang mahasiswa yang berpisah jauh dari kedua orangtuaku di sebuah desa, dengan pulau yang berbeda. Mereka menetap di Kalimantan sedangkan aku di kaki Sulawesi. Tepatnya di Makassar, tempat dimana terdapat banyak pedagang “pisang ngepe”. Ada pantai Losari tempat melabuhkan cinta dua insan. Ciee…sok romantis. Terdapat banyak penjual minyak Tawon di Jalan Sulawesi, sirup Markisa dan makanan khasnya seperti Coto dan Konro yang mantap pisan euy…! Sungguh, ada banyak hal yang aku temui di kota ini. Termasuk Sitti Khonisah. Seorang teman. Seorang sahabat. Juga saudara seimanku. Hampir setahun ukhuwah terjalin kuat diantara kami. Antara aku dan Nisa. Masih saja sangat berbeda.
              Dia lah wanita mulia itu. Wanita yang penuh dengan kelebihan, kelembutan dan kasih sayang. Wanita yang menyeka air mataku saat ku sedih, saat ku rindu dengan ayah ibuku. Wanita yang mengajariku bagaimana menatap kehidupan ini. Dan wanita yang membuatku meninggalkkan keyakinanku yang selalu meragukanku. Dan memilih untuk menjadi seorang muallaf. Delapan bulan yang lalu, dan sebenarnya aku memang krisis keyakinan sejak itu, sejak dulu, sejak kecil malah. Seperti tak memiliki keyakinan, aku tak pernah yakin dengan Tuhanku saat itu. Dihatiku, kenapa manusia bisa menciptakan menusia? Apakah benar Tuhan itu berwujud manusia? Kenapa harus disembah? Ah… sungguh ada banyak kata “Kenapa” dibenakku. Dan Nisa lah yang membuatku menemukan sebuah ketentraman hati, jati diri dan sebuah pemahaman, kebenaran yang tak pernah terbantahkan. Aku telah bersyahadat di depannya dan didepan seorang Ustadz Abdul Rahman. Imam Masjid di kampus kami.
              Awalnya kedua orang tuaku tidak setuju, aku kira mereka takkan lagi menganggapku sabagai anaknya. Tapi, lama- kelamaan seiring berjalannya waktu, setelah Nisa menjelaskan sesuatu kepada ibuku via telepon, pada bulan Mei lalu. Entah apa yang dipaparkan Nisa kepada ibuku saat itu. Aku juga tak pernah tahu, karena memang tak pernah bertanya kepadanya. Itulah Nisa. Ia sangat mengerti perasaan seorang wanita. Ia lebih memilih berbicara dengan ibuku dari pada ayahku, padahal ibuku seorang katolik fanatik sedangkan ayahku biasa saja dalam memaknai sebuah keyakinannya. Dan yang membuatku kagum kepadanya. Karena Nisa berhasil merobohkan keegoisan itu. Keegoisan kedua orang tuaku. Keegoisan karena tak ingin mendengarkan alasanku untuk berpindah keyakinan.
             Ya, diawal tahun baru Hijriyah… disaat hujan lebat. Disaat drainase tak  sanggup lagi menampung air hujan. Disaat kicauan burung tak terdengar lagi. Disaat aku benar- benar yakin seyakin- yakinnya. Kusampaikan keinginanku untuk berpindah keyakinan kepada Nisa. Sitti Khonisah sang Hafidzah. Kupanggil ia dengan Nisa saja.
“Apakah Elis ikhlas?” Tanya Nisa dengan senyuman meyakinkan.
“Ikhlas? Maksudmu apakah aku benar- benar ingin memeluk agama ini? Insya Allah…” Jawabku. Kuucapkan sebuah kalimat yang tak asing lagi dikalangan orang Muslim. Sebuah kata yang juga sering diucapkan Nisa. Dan tiba- tiba ucapan itu meluncur begitu saja dari mulutku dengan lancarnya. Sempat ku tangkap raut muka Nisa. Sepertinya ia terkejut mendengarkan ucapanku itu. Insya Allah… walaupun saat itu aku tak mengerti artinya apa. Tapi, batinku serasa sejuk melafazdkannya. Aku sedikit bergetar dan takut. Hujan pun turun semakin lebatnya. Aku membisu. Suasana semakin mencekam. Gelap. Matahari tak nampak lagi, berselimutkan awan hitam.
             “Datanglah besok ketempat itu.” Ucap Nisa sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan, tempat yang ku anggap sebagai gua pertapaannya. Ya… Masjid. Sebuah tempat peribadatan, tempat mencurahkan perasaan dengan Tuhan. Tempat yang sering dikunjungi orang- orang yang bertaqwa. Menurutku. Dan sungguh aku kagum akan hal ini. Aku sering membayangkan diriku bagian dari bangunan artistik itu. Bangunan yang sangat kontras dengan gaya timur tengahnya.
***
               Aku saat ini, adalah seorang muslimah. Nisa mulai mengajariku banyak hal tentang agamanya, juga agamaku. Baca tulis al- Quran, bahkan mulai menghapal beberapa surah Juz Amma. Awalnya aku sangat kesulitan. Aku terbata- bata, lidahku seakan terlilit. Tapi, Nisa pantang menyerah mengajariku ini dan itu. Bagaimana cara mensucikan diri selepas menstruasi, cara berwudhu, sholat, puasa, menutup aurat dengan baik dan benar. Semua diajarkan Nisa. Rukun iman, rukun Islam, bahkan cara makan pun diajarkan, sepertinya ia tak ingin melewatkan moment keIslamanku. Keinginanku untuk mempelajari agama ini lebih dalam lagi. Nisa pernah berkata, “Untuk melihat bagaimana Islam itu, maka jangan lihat siapa penganutnya, tapi lihatlah apa yang diajarakannya, bacalah kitabnya”. Tapi, bagiku melihat dan mengenal Nisa, sudah cukup untuk mengenal Islam. Dia lah  yang mengetuk hatiku. Tingkah lakunya yang menggerakkanku. Dia begitu taat dan terbuka dengan sesama manusia. Tak pandang bulu. Tak pandang manusia dari kalangan mana yang ia temui. Nisa adalah seorang Muslimah yang senang menebar salam. Aku senang ia menyapaku dengan ucapan,
 Assalamu’alaikum ya ukhti….”
Waalaikum salam…..” Jawaban ini adalah doa. Nisa lah yang menjelaskan maksud dari sebuah salam ternyata sebuah doa dan tentunya memperkuat tali silaturahmi.
Sungguh… aku makin jatuh cinta dengan Islam.. dan sangat berterima kasih dengan Sitti Khonisah karena telah membantuku untuk lebih jauh mengenal Islam dengan baik dan benar.. sehingga diriku bukanlah seorang Muslimah simelekete… but, be a trua Muslimah and make me proud…anaa uhibbukifillah ya ukhti^_^ coz, Allah azza wa jalla
Catatan kaki;
1)      Iyo” atau “iye”= iya.

Bumi Allah, 3 Muharrom 1432 H
Makassar, 9 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar