A B D U L Q A D I M Z A L L U M
DEMOKRASI :
SISTEM KUFUR
HARAM
Mengambilnya,
Menerapkannya,
dan
Menyebarluaskannya
عبد القَديم زَلّوم
الدّيمُقراطيةُ نظام
كُفْرٍ
يَحْرُمُ
أخذها أو تطبيقهـا
أو الدّعوة إليهـا
من مَنشورات حزب التحرير
ABDUL QADIM ZALLUM
DEMOKRASI :
SISTEM KUFUR
HARAM
Mengambilnya,
Menerapkannya,
dan
Menyebarluaskannya
عبد القَديم زَلّوم
الدّيمُقراطيةُ نظام
كُفْرٍ
يَحْرُمُ
أخذها أو تطبيقهـا
أو الدّعوة إليهـا
من مَنشورات حزب التحرير
Judul Asli : الديمقراطية نظام كفرٍ،
يحرم أخذها أو تطبيقها أو الدعوة إليها
Pengarang : Abdul Qadim Zallum
Dikeluarkan
dan disebarluaskan oleh HIZBUT TAHRIR
Penerjemah : Muhammad Shiddiq Al Jawi
Penyunting : A.R. Nasser
Penata Letak : Abu Azka
بِســمِ
اللهِ الرَّحمَن الرَّحيم
Demokrasi yang telah dijajakan negara Barat kafir ke
negeri-negeri Islam, sesungguhnya adalah sistem kufur. Ia tidak punya hubungan
sama sekali dengan Islam, baik langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat
bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar maupun rinciannya,
dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang
mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.
Karena
itu, kaum muslimin diharamkan secara mutlak mengambil, menerapkan dan
menyebarluaskan demokrasi.
Demokrasi
adalah suatu sistem pemerintahan yang dibuat manusia, dengan tujuan untuk
membebaskan diri dari kezhaliman dan penindasan para penguasa terhadap manusia
atas nama agama. Demokrasi adalah suatu sistem yang bersumber dari manusia.
Tidak ada hubungannya dengan wahyu atau agama.
Kelahiran
demokrasi bermula dari adanya para penguasa di Eropa yang beranggapan bahwa
penguasa adalah Wakil Tuhan di bumi dan berhak memerintah rakyat
berdasarkan kekuasaan Tuhan. Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah memberi
mereka kewenangan membuat hukum dan menerapkannya. Dengan kata lain, penguasa
dianggap memiliki kewenangan memerintah rakyat dengan peraturan yang dibuat
penguasa itu sendiri, karena mereka telah mengambil kekuasaannya dari Tuhan,
bukan dari rakyat. Lantaran hal itu,
mereka menzhalimi dan menguasai rakyat —sebagaimana pemilik budak menguasai
budaknya— berdasarkan anggapan tersebut.
Lalu
timbullah pergolakan antara para penguasa Eropa dengan rakyatnya. Para filosof
dan pemikir mulai membahas masalah pemerintahan dan menyusun konsep sistem
pemerintahan rakyat —yaitu sistem demokrasi— di mana rakyat menjadi sumber
kekuasaan dalam sistem tersebut. Penguasa mengambil sumber kekuasaannya dari
rakyat yang menjadi pemilik kedaulatan. Rakyat dikatakan memiliki kehendaknya,
melaksanakan sendiri kehendaknya itu, dan menjalankannya sesuai sesuai
keinginannya. Tidak ada satu kekuasaan pun yang menguasai rakyat, karena rakyat
ibarat pemilik budak, yang berhak membuat peraturan yang akan mereka terapkan,
serta menjalankannya sesuai dengan keinginannya. Rakyat berhak pula mengangkat
penguasa untuk memerintah rakyat —karena posisinya sebagai wakil rakyat— dengan
peraturan yang dibuat oleh rakyat.
Karena
itu, sumber kemunculan sistem demokrasi seluruhnya adalah manusia, dan tidak
ada hubungannya sama sekali dengan wahyu atau agama.
Demokrasi
merupakan lafal dan istilah Barat yang digunakan untuk menunjukkan pemerintahan
dari, oleh, dan untuk rakyat. Rakyat dianggap penguasa mutlak dan pemilik
kedaulatan, yang berhak mengatur urusannya sendiri, serta melaksanakan dan
menjalankan kehendaknya sendiri. Rakyat tidak bertanggung jawab kepada
kekuasaan siapapun, selain kekuasaan rakyat. Rakyat berhak membuat peraturan
dan undang-undang sendiri —karena mereka adalah pemilik kedaulatan— melalui
para wakil rakyat yang mereka pilih. Rakyat berhak pula menerapkan peraturan
dan undang-undang yang telah mereka buat, melalui para penguasa dan hakim yang
mereka pilih dan keduanya mengambil alih kekuasaan dari rakyat, karena rakyat
adalah sumber kekuasaan. Setiap individu rakyat —sebagaimana individu lainnya—
berhak menyelenggarakan negara, mengangkat penguasa, serta membuat peraturan
dan undang-undang.
Menurut
konsep dasar demokrasi —yaitu peme-rintahan yang diatur sendiri oleh rakyat—
seluruh rakyat harus berkumpul di suatu tempat umum, lalu membuat peraturan dan
undang-undang yang akan mereka terapkan, mengatur berbagai urusan, serta
memberi keputusan terhadap masalah yang perlu diselesaikan.
Namun
karena tidak akan mungkin mengumpulkan seluruh rakyat di satu tempat agar
seluruhnya menjadi sebuah lembaga legislatif, maka rakyat kemudian memilih para
wakilnya untuk menjadi lembaga legislatif. Lembaga inilah yang disebut dengan Dewan
Perwakilan, yang dalam sistem demokrasi dikatakan mewakili kehendak umum
rakyat dan merupakan penjelmaan politis dari kehendak umum rakyat. Dewan ini
kemudian memilih pemerintah dan kepala negara —yang akan menjadi penguasa dan
wakil rakyat dalam pelaksanaan kehendak umum rakyat. Kepala negara tersebut
mengambil kekuasaan dari rakyat yang telah memilihnya, untuk memerintah rakyat dengan peraturan dan
undang-undang yang dibuat oleh rakyat. Dengan demikian, rakyatlah yang memiliki
kekuasaan secara mutlak, yang berhak menetapkan undang-undang dan memilih
penguasa yang akan melaksanakan undang-undang tersebut.
Kemudian,
agar rakyat dapat menjadi penguasa bagi dirinya sendiri serta dapat
melaksanakan kedaulatan dan menjalankan kehendaknya sendiri secara sempurna —baik dalam pembuatan
undang-undang dan peraturan maupun dalam pemilihan penguasa— tanpa disertai
tekanan atau paksaan, maka kebebasan individu menjadi prinsip yang harus
diwujudkan oleh demokrasi bagi setiap individu rakyat. Dengan demikian rakyat
akan dapat mewujudkan kedaulatannya dan melaksanakan kehendaknya sendiri
sebebas-bebasnya tanpa tekanan atau paksaan.
Kebebasan
individu ini nampak dalam empat macam kebebasan berikut ini :
1. Kebebasan
Beragama.
2. Kebebasan
Berpendapat.
3. Kebebasan
Kepemilikan.
4. Kebebasan
Bertingkah Laku.
Demokrasi
lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan yang menjadi asas
ideologi Kapitalisme. Aqidah ini merupakan jalan tengah yang tidak tegas, yang
lahir dari pergolakan antara para raja dan kaisar di Eropa dan Rusia dengan para
filosof dan pemikir. Saat itu para raja dan kaisar telah memanfaatkan agama
sebagai alat mengeksploitasi dan menzhalimi rakyat, serta alat untuk menghisap
darah mereka. Ini disebabkan adanya suatu anggapan bahwa raja dan kaisar adalah
wakil Tuhan di muka bumi. Para raja dan kaisar itu lalu memanfaatkan para
rohaniwan sebagai tunggangan untuk menzhalimi rakyat, sehingga berkobarlah
pergolakan sengit antara mereka dengan rakyatnya.
Pada
saat itulah para filosof dan pemikir bangkit. Sebagian di antara mereka ada
yang mengingkari keberadaan agama secara mutlak, dan ada pula yang mengakui
keberadaan agama tetapi menyerukan pemisahan agama dari kehidupan, yang
kemudian melahirkan pemisahan agama dari negara dan pemerintahan.
Pergolakan
ini berakhir dengan suatu jalan tengah, yaitu pemisahan agama dari kehidupan
yang dengan sendirinya akan menyebabkan pemisahan agama dari negara. Ide ini
merupakan aqidah yang menjadi asas ideologi Kapitalisme dan menjadi landasan
pemikiran (Qaidah Fikriyah) bagi ideologi tersebut, yang mendasari
seluruh bangunan pemikirannya, menentukan orientasi pemikiran dan pandangan
hidupnya, sekaligus menjadi sumber pemecahan bagi seluruh problem kehidupan.
Maka aqidah ini merupakan pengarahan pemikiran (Qiyadah Fikriyah) yang
diemban oleh Barat dan selalu diserukannya ke seluruh penjuru dunia.
Jelaslah
bahwa aqidah tersebut telah menjauhkan agama dan gereja dari kehidupan
bernegara, yang selanjutnya menjauhkan agama dari pembuatan peraturan dan
undang-undang, pengangkatan penguasa dan pemberian kekuasaan kepada penguasa.
Oleh karena itu, rakyat harus memilih peraturan hidupnya sendiri, membuat peraturan dan undang-undang, dan
mengangkat penguasa yang akan memerintah rakyat dengan peraturan dan undang-undang
tersebut, serta mengambil kekuasaannya berdasarkan kehendak umum mayoritas
rakyat.
Dari
sinilah sistem demokrasi lahir. Jadi, ide pemisahan agama dari kehidupan adalah
aqidah yang telah melahirkan demokrasi, sekaligus merupakan landasan pemikiran
yang mendasari seluruh ide-ide demokrasi.
Demokrasi berlandaskan dua ide :
1. Kedaulatan di
tangan rakyat.
2. Rakyat sebagai sumber kekuasaan.
Kedua
ide tersebut dicetuskan oleh para filosof dan pemikir di Eropa ketika mereka
melawan para kaisar dan raja, untuk menghapuskan ide Hak Ketuhanan (Divine
Rights) yang menguasai Eropa waktu itu. Atas dasar ide itu, para raja
menganggap bahwa mereka memiliki Hak Ketuhanan atas rakyat dan hanya merekalah
yang berhak membuat peraturan dan menyelenggarakan pemerintahan serta
peradilan. Raja adalah negara.
Sementara
itu rakyat dianggap sebagai pihak yang harus diatur, dan dianggap tidak
memiliki hak dalam pembuatan peraturan, kekuasaan, peradilan, atau hak dalam
apapun juga. Rakyat berkedudukaan sebagai budak yang tidak memiliki pendapat
dan kehendak, melainkan hanya berkewajiban untuk taat saja kepada penguasa dan
melaksanakan perintah.
Lalu
disebarkanlah dua ide landasan demokrasi tersebut untuk menghancurkan ide Hak
Ketuhanan secara menyeluruh, dan untuk memberikan hak pembuatan peraturan dan
pemilihan penguasa kepada rakyat. Dua ide tersebut didasarkan pada anggapan
bahwa rakyat adalah ibarat tuan pemilik budak, bukan budak yang dikuasai
tuannya. Jadi rakyat ibarat tuan bagi dirinya sendiri, tidak ada satu pihak pun
yang dapat menguasainya. Rakyat harus memiliki kehendaknya dan melaksanakannya
sendiri. Jika tidak demikian, berarti rakyat adalah budak, sebab perbudakan
artinya ialah kehendak rakyat dijalankan oleh orang lain. Maka apabila rakyat
tidak menjalankan kehendaknya sendiri, berarti rakyat tetap menjadi budak.
Maka untuk membebaskan rakyat dari
perbudakan ini, harus dianggap bahwa rakyat saja yang berhak menjalankan
kehendaknya dan menetapkan peraturan yang dikehendakinya, atau menghapus dan
membatalkan peraturan yang tidak dikehendakinya. Sebab, rakyat adalah pemilik
kedaulatan yang mutlak. Rakyat harus dianggap pula berhak melaksanakan
peraturan yang ditetapkannya, serta memilih penguasa (badan eksekutif) dan
hakim (badan yudikatif) yang dikehendakinya untuk menerapkan peraturan yang
dikehendaki rakyat. Sebab, rakyat adalah sumber seluruh kekuasaan, sementara
penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat.
Dengan
berhasilnya revolusi melawan para kaisar dan raja serta robohnya ide Hak
Ketuhanan, maka kedua ide landasan demokrasi tersebut —kedaulatan di tangan
rakyat, dan rakyat sebagai sumber kekuasaan— dapat diterapkan dan dilaksanakan.
Dua ide inilah yang menjadi asas sistem demokrasi.
Dengan
demikian, rakyat bertindak sebagai Musyarri' (pembuat hukum) dalam
kedudukannya sebagai pemilik kedaulatan, dan bertindak sebagai Munaffidz
(pelaksana hukum) dalam kedudukannya sebagai sumber kekuasaan.
Demokrasi
adalah sistem pemerintahan berdasarkan suara mayoritas. Anggota-anggota lembaga
legislatif dipilih berdasarkan suara mayoritas pemilih dari kalangan rakyat.
Penetapan peraturan dan undang-undang, pemberian mosi percaya atau tidak
percaya kepada pemerintah dalam dewan perwakilan, ditetapkan pula berdasarkan
suara mayoritas. Demikian pula penetapan semua keputusan dalam dewan
perwakilan, kabinet, bahkan dalam seluruh dewan, lembaga, dan organisasi
lainnya, ditetapkan berdasarkan suara mayoritas. Pemilihan penguasa oleh rakyat
baik langsung maupun melalui para wakilnya, ditetapkan pula berdasarkan suara
mayoritas pemilih dari rakyat.
Oleh
karena itu, suara bulat (mayoritas) adalah ciri yang menonjol dalam sistem
demokrasi. Pendapat mayoritas menurut demokrasi merupakan tolok ukur hakiki
yang akan dapat mengungkapkan pendapat rakyat yang sebenarnya.
Demikianlah
penjelasan ringkas mengenai demokrasi dari segi pengertiannya, sumbernya, latar
belakangnya, aqidah yang melahirkannya, asas-asas yang melandasinya, serta
hal-hal yang harus diwujudkannya agar rakyat dapat melaksanakan demokrasi.
Dari
penjelasan ringkas tersebut, nampak jelaslah poin-poin berikut ini :
1. Demokrasi
adalah buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT. Demokrasi tidak
bersandar kepada wahyu dari langit dan tidak memiliki hubungan dengan agama
mana pun dari agama-agama yang diturunkan Allah kepada para rasul-Nya.
2. Demokrasi lahir
dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan, yang selanjutnya melahirkan
pemisahan agama dari negara.
3. Demokrasi berlandaskan dua ide :
a. Kedaulatan di tangan rakyat.
b.
Rakyat sebagai sumber kekuasaan.
4. Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas.
Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan diselenggarakan berdasarkan
suara mayoritas para pemilih. Semua keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut
diambil berdasarkan pendapat mayoritas.
5.
Demokrasi menyatakan adanya empat macam
kebebasan, yaitu :
a. Kebebasan Beragama (freedom of religion)
b. Kebebasan Berpendapat (freedom of speech)
c. Kebebasan Kepemilikan (freedom of ownership)
d. Kebebasan Bertingkah Laku (personal freedom)
Demokrasi harus mewujudkan kebebasan
tersebut bagi setiap individu rakyat, agar rakyat dapat melaksanakan
kedaulatanya dan menjalankannya sendiri. Juga agar dapat melaksanakan haknya
untuk berpartisipasi dalam pemilihan para penguasa dan anggota lembaga-lembaga
perwakilan dengan sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan atau paksaan.
Dengan
memperhatikan poin 1 di atas, sebenarnya sudah jelas bahwa demokrasi adalah
sistem kufur, tidak berasal dari Islam, dan tidak memiliki hubungan apapun
dengan Islam.
Namun
sebelum kami menjelaskan lebih lanjut pertentangan demokrasi dengan Islam serta
hukum syara' dalam pengambilannya, kami ingin menjelaskan terlebih dahulu,
bahwa demokrasi itu sendiri sebenarnya belum pernah diterapkan di negara-negara
asal demokrasi, dan bahwa praktek demokrasi itu sesungguhnya didasarkan pada
kedustaan dan penyesatan. Kami ingin menjelaskan pula tentang kerusakan dan
kebusukan demokrasi, serta berbagai musibah dan malapetaka yang telah menimpa dunia akibat penerapan
demokrasi, termasuk sejauh mana kebobrokan masyarakat yang menerapkan demokrasi.
Demokrasi dalam maknanya yang asli,
adalah ide khayal yang tidak mungkin dipraktekkan. Demokrasi belum dan tidak
akan pernah terwujud sampai kapan pun. Sebab, berkumpulnya seluruh rakyat di
satu tempat secara terus menerus untuk memberikan pertimbangan dalam berbagai
urusan, adalah hal yang mustahil. Demikian pula keharusan atas seluruh rakyat
untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengurus administrasinya, juga hal yang
mustahil.
Oleh
karena itu, para penggagas demokrasi lalu mengarang suatu manipulasi terhadap
ide demokrasi dan mencoba menakwilkannya, serta mengada-adakan apa yang disebut
dengan "Kepala Negara", "Pemerintah" dan "Dewan
Perwakilan".
Namun
meskipun demikian, pengertian demokrasi yang telah ditakwilkan ini pun toh
tetap tidak sesuai dengan fakta yang ada dan tidak pernah pula terwujud dalam
kenyataan.
Klaim
bahwa kepala negara, pemerintah, dan anggota parlemen dipilih berdasarkan
mayoritas suara rakyat; bahwa dewan perwakilan adalah penjelmaan politis
kehendak umum mayoritas rakyat; dan bahwa dewan tersebut mewakili mayoritas
rakyat, semuanya adalah klaim yang sangat tidak sesuai dengan fakta yang
sebenarnya.
Sebab,
anggota parlemen sesungguhnya hanya dipilih sebagai wakil dari minoritas rakyat
—bukan mayoritasnya— mengingat kedudukan seorang anggota di parlemen itu
sebenarnya dicalonkan oleh sejumlah orang, bukan oleh satu orang. Karena itu
suara para pemilih di suatu daerah, harus dibagi dengan jumlah orang yang
mencalonkan. Dengan demikian, orang yang meraih suara mayoritas para pemilih di
suatu daerah sebenarnya tidak memperoleh suara mayoritas dari mereka yang
berhak memilih di daerah tersebut. Konsekuensinya ialah para wakil yang menang,
sebenarnya hanya mendapatkan suara minoritas rakyat, bukan mayoritasnya. Maka
mereka menjadi orang-orang yang mendapat kepercayaan dari minoritas rakyat dan
menjadi wakil mereka, bukan orang-orang yang mendapat kepercayaan dari
mayoritas rakyat dan tidak pula menjadi wakil mereka.
Demikian
pula kepala negara, baik yang dipilih oleh rakyat secara langsung maupun oleh
para anggota parlemen, sebenarnya juga tidak dipilih berdasarkan mayoritas
suara rakyat, tetapi berdasarkan minoritas suara rakyat, sebagaimana halnya
pemilihan anggota parlemen tersebut di atas.
Lagi
pula, para kepala negara dan anggota parlemen di negara-negara asal demokrasi,
seperti Amerika Serikat dan Inggris, sebenarnya mewakili kehendak kaum
kapitalis —yaitu para konglomerat dan orang-orang kaya— dan tidak mewakili
kehendak rakyat ataupun mayoritas rakyat. Kondisi ini dikarenakan para
kapitalis raksasa itulah yang mendudukkan mereka ke berbagai posisi
pemerintahan dan lembaga-lembaga perwakilan, yang akan merealisasikan
kepentingan para kapitalis itu. Kaum kapitalis tersebut telah membiayai proses
pemilihan presiden dan anggota parlemen, sehingga mereka memiliki pengaruh yang
kuat atas presiden dan anggota parlemen. Fakta ini sudah terkenal di Amerika.
Sementara
di Inggris, yang berkuasa adalah orang-orang dari partai Konservatif. Partai
Konservatif ini juga mewakili para kapitalis raksasa, yaitu para konglomerat,
para pengusaha dan pemilik tanah, serta golongan bangsawan yang aristokratis.
Partai Buruh tidak dapat menduduki pemerintahan, kecuali terdapat kondisi
politis yang mengharuskan tersingkirnya Partai Konservatif dari pemerintahan.
Oleh karena itu, para penguasa dan anggota parlemen di Amerika Serikat dan
Inggris sebenarnya hanya mewakili para kapitalis, tidak mewakili kehendak
rakyat ataupun kehendak mayoritas rakyat.
Berdasarkan
fakta ini, maka pernyataan bahwa parlemen di negeri-negeri demokrasi adalah
wakil dari pendapat mayoritas, merupakan perkataan dusta dan menyesatkan.
Demikian pula pernyataan bahwa para penguasa dipilih oleh mayoritas rakyat dan
mengambil kekuasaan mereka dari rakyat, juga merupakan dusta yang menyesatkan!
Di
samping itu, peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam parlemen-parlemen
tersebut, serta kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara-negara tersebut,
diputuskan dengan pertimbangan: bahwa kepentingan para kapitalis harus lebih
diutamakan daripada kepentingan rakyat atau mayoritas rakyat.
Kemudian
pernyataan bahwa penguasa/presiden bertanggung jawab kepada parlemen yang
merupakan penjelmaan kehendak umum rakyat; dan bahwa keputusan-keputusan yang
penting tidak dapat diambil kecuali dengan persetujuan mayoritas anggota parlemen, tidaklah sesuai dengan
hakekat dan kenyataan yang ada. Sir Anthony Eden (PM Inggris), misalnya,
telah mengumumkan Perang Suez terhadap Mesir tanpa memberi tahu baik kepada
parlemen maupun kepada para menteri yang memiliki andil dalam pemerintahannya.
Hanya dua atau tiga menteri saja yang diberitahu. John Foster Dulles pada
saat Perang Suez telah diminta oleh Kongres untuk menyerahkan laporan mengenai
Terusan Suez dan menjelaskan sebab-sebab pembatalan usulan pembiayaannya. Namun
dia menolak mentah-mentah untuk menyerahkan laporan tersebut kepada Kongres.
Sementara itu Charles de Gaulle telah mengambil keputusan-keputusan
tanpa diketahui para menterinya. Raja Hussein pun telah mengambil
keputusan-keputusan yang penting dan berbahaya tanpa diketahui oleh para
menteri atau anggota parlemen.
Oleh
karenanya, pernyataan bahwa parlemen-parlemen di negeri-negeri demokrasi telah
mewakili pendapat mayoritas, dan bahwa para penguasa dipilih berdasarkan suara
mayoritas serta menjalankan pemerintahan menurut peraturan yang ditetapkan dan
dikehendaki oleh mayoritas, ternyata tidak sesuai dengan hakekat dan kenyataan
yang sebenarnya. Perkataan itu dusta dan menyesatkan!
Penjelasan
di atas berkenaan dengan kenyataan di negeri-negeri asal usul demokrasi. Adapun
parlemen-parlemen di Dunia Islam, keadaannya lebih buruk lagi. Parlemen-parlemen tersebut tak
lebih dari sekedar istilah yang tidak ada faktanya. Sebab, tidak ada satu
parlemen pun di Dunia Islam yang berani mengkritik atau menentang penguasanya,
atau menentang sistem pemerintahannya. Parlemen Yordania misalnya —yang dipilih
dengan slogan "Mengembalikan Demokrasi dan Mewujudkan Kebebasan"—
ternyata tidak berani mengkritik Raja Hussein, atau mengkritik rezim
pemerintahannya. Padahal semua anggota parlemen tahu bahwa penyebab krisis dan
kemerosotan ekonomi yang terjadi tak lain adalah kebobrokan rezim keluarga
kerajaan yang telah mencuri harta kekayaan negara.
Kendatipun
demikian, tidak ada seorang anggota parlemen pun yang berani mengkritik rezim
tersebut. Mereka hanya berani mengkritik Zaid Rifa'i dan beberapa menteri.
Padahal mereka tahu bahwa Zaid Rifa'i dan para menteri itu hanyalah pegawai
bawahan, yang tidak akan berani mengambil satu tindakan pun tanpa mendapat ijin dan restu dari raja.
Ini
dari satu sisi. Dari sisi lain, undang-undang yang ada umumnya justru dibuat
oleh pemerintah, dalam bentuk rancangan undang-undang. Kemudian rancangan
undang-undang itu dikirim oleh pemerintah ke parlemen, lalu dikaji oleh
komisi-komisi khusus yang akan memberikan pendapatnya mengenai rancangan
tersebut, dan kemudian menyetujuinya. Padahal faktanya banyak anggota parlemen
yang tidak memahami isi undang-undang tersebut sedikit pun, sebab pembahasan
dalam undang-undang tersebut bukan bidang keahlian mereka.
Oleh
karena itu, pernyataan bahwa peraturan yang ditetapkan oleh parlemen-parlemen
di negeri-negeri demokrasi merupakan ungkapan kehendak umum rakyat, dan bahwa
kehendak umum itu mewakili kedaulatan rakyat, adalah pernyataan yang tidak
sesuai dengan hakikat dan kenyataan yang ada.
Cacat yang
menonjol dalam sistem
demokrasi —yang berkaitan dengan
pemerintahan dan kabinet— antara lain ialah bila di dalam suatu negeri
demokrasi tidak terdapat partai-partai politik besar —yang dapat mencapai
mayoritas mutlak di parlemen dan menyusun kabinetnya sendiri— maka pemerintah
negeri tersebut akan selalu tidak stabil dan kabinetnya akan terus digoncang
dengan tekanan krisis-krisis politik yang silih berganti. Hal ini terjadi
karena pemerintah negeri tersebut sulit mendapatkan kepercayaan mayoritas
parlemennya, sehingga kondisi ini akan memaksa pemerintah untuk meletakkan
jabatannya. Kadang-kadang presiden selama berbulan-bulan tak mampu membentuk
kabinetnya yang baru sehingga pemerintah menjadi lumpuh atau nyaris tak
berfungsi. Kadang-kadang pula presiden terpaksa membubarkan parlemen dan
menyelengggarakan pemilu yang baru, dengan tujuan mengubah perimbangan kekuatan
politik agar dia dapat menyusun kabinetnya yang baru.
Krisis-krisis
tersebut terjadi berulang kali sehingga pemerintah selalu tidak stabil dan
aktivitas politiknya pun terus digoncang dan nyaris tak terurus. Kondisi
seperti ini pernah terjadi di Italia, Yunani, dan negeri-negeri demokrasi yang
lain, yang memiliki banyak partai politik sementara tidak ada satu partai
politik besar yang mampu mendapatkan mayoritas mutlak.
Karena
kondisinya seperti itu, maka tawar menawar selalu terjadi di antara
partai-partai tersebut, sehingga terkadang partai-partai kecil dapat mendikte
partai-partai lain —yang mengajak berkoalisi untuk membentuk kabinet— dengan
cara mengajukan syarat-syarat yang sulit sebagai langkah untuk mewujudkan
kepentingannya sendiri. Dengan demikian, partai-partai kecil —yang hanya
mewakili minoritas rakyat itu— dapat mengendalikan partai lain dan mendikte
kegiatan politik negeri tersebut termasuk penetapan kebijakan-kebijakan
kabinetnya.
Di
antara bencana paling mengerikan yang menimpa seluruh umat manusia, ialah ide
kebebasan individu yang dibawa oleh demokrasi. Ide ini telah mengakibatkan
berbagai malapetaka secara universal, serta memerosotkan harkat dan martabat
masyarakat di negeri-negeri demokrasi sampai ke derajat yang lebih hina
daripada derajat segerombolan binatang!
Sebenarnya
ide kebebasan kepemilikan dan oportunisme yang dijadikan sebagai tolok ukur
perbuatan, telah mengakibatkan lahirnya para kapitalis yang bermodal. Mereka
ini jelas membutuhkan bahan-bahan mentah untuk menjalankan industrinya dan
membutuhkan pasar-pasar konsumtif untuk memasarkan produk-produk industrinya.
Hal inilah yang telah mendorong negara-negara kapitalis untuk bersaing satu
sama lain guna menjajah bangsa-bangsa yang terbelakang, menguasai harta
bendanya, memonopoli kekayaan alamnya, serta menghisap darah bangsa-bangsa
tersebut dengan cara yang sangat bertolak belakang dengan seluruh nilai-nilai
kerohanian, akhlak, dan kemanusiaan.
Keserakahan
dan kerakusan yang luar biasa dari negara-negara kapitalis itu, kekosongan jiwa
mereka dari nilai-nilai kerohanian, akhlak, dan kemanusiaan, serta persaingan
di antara mereka untuk mencari harta yang haram; telah membuat darah
bangsa-bangsa terjajah menjadi barang dagangan. Faktor-faktor tersebut juga
telah mengakibatkan berkobarnya fitnah dan peperangan di antara bangsa-bangsa
terjajah, sehingga negara-negara kapitalis tersebut dapat menjajakan
produk-produk industrinya dan dapat mengembangkan industri-industri militernya
yang menghasilkan keuntungan besar.
Sungguh
betapa banyak hal yang menggelikan sekaligus memuakkan, yang selalu menjadi bahan
bualan negara-negara demokrasi penjajah yang tidak tahu malu itu. Amerika,
Inggris, dan Perancis, misalnya, selalu
saja menggembar-gemborkan nilai-nilai demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM)
di mana-mana. Padahal pada waktu yang sama mereka telah menginjak-injak seluruh
nilai kemanusiaan dan akhlak, mencampakkan seluruh Hak-Hak Asasi Manusia, dan
menumpahkan darah berbagai bangsa di dunia. Krisis-krisis di Palestina, Asia
Tenggara, Amerika Latin, Afrika Hitam (Afrika Tengah), dan Afrika Selatan, adalah
bukti paling nyata yang akan menampar wajah mereka dan akan membeberkan sifat
mereka yang sangat pendusta dan tidak tahu malu itu!
Adapun
ide kebebasan bertingkah laku, sesung-guhnya telah memerosotkan martabat
berbagai masyarakat yang mempraktekkan demokrasi sampai pada derajat masyarakat
binatang yang sangat rendah. Ide itu juga telah menyeret mereka untuk mengambil
gaya hidup serba-boleh (permissiveness) yang najis, yang bahkan tidak
dijumpai dalam pergaulan antar binatang. Maha Benar Allah SWT yang berfirman :
أَرَأَيْتَ مَنِ
اتَخَذَ إِلـهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُوْنُ عَلَيْهِ وَكيْلاً %
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ
أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُوْنَ أَو يَعْقِلُوْنَ إِنْ هُمْ إلاَّ كَالأَنْعَام بَلْ
هُمْ أَضَلُّ سَبِيْلاً %
"Terangkanlah kepada-Ku tentang
orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu
dapat menjadi pemelihara atasnya ? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan
mereka itu mendengar atau memahami ?
Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat jalannya (dari binatang ternak itu)."
(Al-Furqaan 43-44)
Dalam
masyarakat demokrasi ini, hubungan
seksual menjadi aktivitas
yang sah-sah saja —seperti halnya minum air— karena telah
disahkan oleh undang-undang yang ditetapkan parlemen negeri-negeri tersebut dan
direstui oleh para tokoh gerejanya. Peraturan tersebut membolehkan hubungan
seksual dan pergaulan lelaki-perempuan dengan sebebas-bebasnya bila
masing-masing telah berumur 18 tahun. Negara dan orang tua tidak berwenang
sedikit pun untuk mencegah segala perilaku seksual tersebut.
Undang-undang
itu ternyata tidak sekedar membenarkan hubungan seksual dengan lawan jenis,
tetapi lebih dari itu telah membolehkan hubungan seksual sesama jenis. Bahkan
beberapa negeri demokrasi telah mengesahkan pernikahan antara dua orang yang
berkelainan seksual, yakni pria dibolehkan menikahi sesamanya, dan wanita
dibolehkan menikahi sesamanya pula.
Karena
itu di antara fenomena yang dianggap wajar dan biasa dalam masyarakat
demokrasi, ialah Anda akan menyaksikan —di jalan-jalan, taman-taman, bus-bus,
dan di wagon-wagon kereta api— para pemuda dan pemudi saling berciuman,
berangkulan, berpelukan, serta saling mengisap bibir dan bercumbu. Semua ini
mereka lakukan tanpa rasa sungkan dan risih sedikit pun karena perilaku semacam
itu oleh mereka sudah dianggap biasa dan wajar-wajar saja.
Begitu
pula sudah dianggap biasa kalau para wanita Barat menunggu matahari terbit pada
musim panas dengan cara berbaring di taman-taman dengan
tubuh telanjang —persis seperti
keadaan mereka tatkala dilahirkan oleh ibu-ibu mereka— tanpa penutup kecuali
secarik kain yang menutupi bagian tubuh mereka yang paling vital. Juga sudah
dianggap biasa para wanita di sana pada musim panas berjalan-jalan dengan tubuh
nyaris bugil dan tidak menutupi tubuh mereka, kecuali hanya sekedarnya saja.
Berbagai
perilaku seksual yang menyimpang dan abnormal telah memenuhi masyarakat
demokrasi yang bejat ini. Perilaku homoseksual antar lelaki, lesbianisme di
kalangan wanita, dan pemuasan seksual dengan binatang (bestiality) telah
banyak terjadi. Juga banyak terjadi perilaku seksual kolektif (orgy), di
mana beberapa pria dan wanita melakukan hubungan seksual bersama-sama. Padahal
perilaku seperti ini bahkan tak akan dijumpai di dalam kandang-kandang binatang
ternak sekalipun.
Sensus
sebuah koran Amerika Serikat menyebutkan, bahwa 25 juta pelaku seksual yang
menyimpang di Amerika Serikat telah menuntut pengesahan perkawinan di antara
mereka dan menuntut hak-hak yang sama seperti yang dimiliki oleh orang normal.
Sebuah koran lain juga mempublikasikan
data, bahwa satu juta orang di Amerika Serikat telah melakukan hubungan seksual
dengan keluarga mereka sendiri (incest), baik dengan ibu, anak
perempuan, maupun saudara perempuan mereka.
Perilaku
serba boleh gaya binatang inilah yang telah menyebarluaskan berbagai penyakit
kelamin —yang paling mematikan adalah AIDS— dan juga telah menghasilkan banyak
anak zina, sampai-sampai sebuah koran menyebutkan bahwa 75 % orang Inggris
adalah anak zina.
Dalam
masyarakat demokrasi, institusi keluarga benar-benar telah hancur berantakan.
Tak ada lagi yang namanya rasa kasih sayang di antara bapak, anak, ibu, saudara
lelaki, dan saudara perempuan. Karenanya, sudah merupakan pemandangan biasa,
jika terdapat puluhan bahkan ratusan pria dan wanita tua bangka yang
berjalan-jalan di taman hanya bertemankan anjing-anjing. Hewan inilah yang
menemani kaum lanjut usia itu di rumah, di meja makan, dan bahkan di tempat
tidur mereka! Anjing-anjing itu menjadi sahabat dalam kesendirian mereka, sebab
masing-masing memang hanya hidup sebatang kara. Tak ada sahabat lagi selain
anjing.
Itulah
beberapa contoh kerusakan yang dihasilkan oleh nilai-nilai demokrasi, khususnya
ide kebebasan individu yang selalu mereka dengung-dengungkan itu. Itu pula
salah satu bentuk dan penampilan peradaban mereka yang senantiasa mereka
bangga-banggakan, mereka gembar-gemborkan, dan mereka sebarluaskan ke seluruh
pelosok dunia. Tujuannya tak lain agar seluruh dunia ikut terjerumus ke dalam
peradaban mereka yang sangat buruk itu. Kebejatan-kebejatan tersebut tidak
mempunyai makna apa-apa, kecuali menunjukkan kerusakan, keburukan, dan
kebusukan demokrasi.
Beberapa
kerusakan dan keburukan demokrasi tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Masyarakat-masyarakat
demokrasi Barat telah bejat sedemikian rupa, hingga terpesosok ke derajat
binatang yang kotor, yang bahkan tidak pernah ada dalam komunitas binatang
ternak. Hal ini akibat adanya keliaran yang dihasilkan oleh ide kebebasan
bertingkah laku.
2. Penjajahan
Barat yang demokratis itu telah nyata-nyata menimbulkan berbagai krisis,
bencana, dan penghisapan bangsa-bangsa yang terjajah dan terbelakang; dengan
cara mencuri sumber daya alam, merampok kekayaan mereka, memelaratkan penduduk,
dan menistakan rakyat-rakyatnya, serta menjadikan negeri-negeri mereka sebagai
pasar konsumtif bagi industri dan produk mereka.
3. Demokrasi dalam arti yang sebenaranya tidak
mungkin diterapkan. Bahkan dalam pengertiannya yang baru, sesudah dita'wilkan,
tetap tidak sesuai dengan fakta dan tidak akan terwujud dalam kenyataan.
4. Kedustaan dan kebohongan para penganut
demokrasi telah nyata. Mereka mengklaim bahwa parlemen adalah wakil dari
kehendak umum masyarakat, merupakan perwujudan politis kehendak umum mayoritas
rakyat, dan mewakili pendapat mayoritas. Nyata pula kedustaan mereka yang
mengklaim bahwa hukum-hukum yang dibuat parlemen ditetapkan berdasarkan
mayoritas suara wakil rakyat yang mengekspresikan kehendak mayoritas rakyat.
Begitu pula nyata kedustaan mereka yang mengklaim bahwa para penguasa dipilih
oleh mayoritas rakyat serta mengambil kekuasaannya dari rakyat.
5. Cacat dalam sistem demokrasi telah jelas,
khususnya aspek yang berhubungan dengan kekuasaan dan para penguasa jika tidak
terdapat partai-partai besar di suatu negeri yang akan menjadi golongan
mayoritas di dalam dewan perwakilan.
Ya,
meskipun semua keburukan tersebut telah terjadi, namun Barat yang kafir
ternyata telah mampu memasarkan ide-ide demokrasi yang rusak itu di
negeri-negeri Islam!
Adapun
bagaimana Barat yang kafir itu dapat berhasil memasarkan ide-ide demokrasi yang
kufur —yang tidak berhubungan sama sekali dengan hukum-hukum Islam itu— di
negeri-negeri Islam?
Jawabnya
adalah bahwa keberhasilan Barat dalam hal ini disebabkan negara-negara Eropa
yang kafir dan sangat dengki dan dendam terhadap Islam dan kaum muslimin itu,
dalam hati mereka terdapat rasa dendam yang sangat dalam terhadap Islam dan
kaum muslimin. Maha Benar Allah dengan firman-Nya:
قَدْ بَدَتِ
البَغْضَـآءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَ مَا تُخْفِي صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ
“…telah nyata kebencian dari mulut mereka
dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.” (Ali ‘Imraan 118)
Mereka telah memahami bahwa rahasia
kekuatan kaum muslimin terletak pada ajaran Islam itu sendiri. Sebab Aqidah
Islamiyah adalah sumber kekuatan yang dahsyat bagi umat Islam. Maka setelah
itu, mereka pun menyusun strategi jahannam untuk memerangi Dunia Islam,
dengan jalan melancarkan serangan
misionaris (kristenisasi) dan serangan kebudayaan (berupa westernisasi).
Serangan
kebudayaan (westernisasi) ini ternyata telah mengusung kebudayaan dan
ide-ide barat —termasuk demokrasi— serta peradaban dan pandangan hidup Barat ke
Dunia Islam. Negara-negara Eropa itu segera menyerukan ide-ide tersebut kepada
kaum muslimin, dengan maksud agar kaum muslimin menjadikannya sebagai asas cara
berpikir dan pandangan hidup mereka, sehingga pada gilirannya negara-negara
Eropa itu akan dapat menyimpangkan kaum muslimin dari Islam serta menjauhkan
mereka dari keterikatannya dengan Islam dan kewajiban penerapan hukum-hukumnya.
Tujuan akhirnya ialah agar Barat dapat dengan mudah menghancurkan negara Islam
—yakni negara Khilafah— dan kemudian menghapuskan penerapan hukum-hukum Islam
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian kaum muslimin
selanjutnya akan mudah diarahkan untuk mengambil berbagai ide, peraturan, dan
undang-undang kafir, sebagai ganti dari Islam. Akhirnya Barat akan dapat
menjauhkan kaum muslimin dari Islam dan dapat mengencangkan cengkeramannya atas
mereka. Maha Benar Allah SWT yang telah berfirman :
وَ
لَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَ لاَ النَّصَارى حَتَّى تَتَّبعَ مِلَّتَهُم
قُلْ إِنَّ هُدَى اللهِ هُوَ الْهُدَى وَ لَئِنِ اتَبَعْتَ أَهْوَآءَهُمْ بَعْدَ
الَذِي جَـآءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَ لاَ نَصِيْرٍ
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani
tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah,
'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya
jika kamu (Muhammad) mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan (bukti yang
nyata) datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong
bagimu." (Al-Baqarah 120)
Serangan
misionaris dan kebudayaan ini semakin sengit ketika kemerosotan kaum muslimin
di bidang pemikiran dan politik semakin parah pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah
(pada paruh kedua abad XIX M). Pada saat itu telah terjadi perubahan dalam
perimbangan kekuatan yang menunjukkan keunggulan negara-negara Eropa. Yaitu
setelah terjadinya revolusi pemikiran dan revolusi industri di Eropa dan
terwujudnya berbagai kreativitas dan penemuan ilmiah, yang dengan cepat
menghantarkan Eropa menuju ketinggian
dan kemajuan. Sementara itu, Khilafah Utsmaniyah tetap jumud dan semakin lemah
dari hari ke hari. Kondisi inilah yang akhirnya mengakibatkan banjirnya
berbagai kebudayaan, ide, peradaban, dan peraturan Barat yang mengalir deras ke
negeri-negeri Islam.
Negara-negara
Eropa dalam serangan misionaris dan kebudayaan yang ditujukan ke negeri-negeri
Islam menggunakan cara merendahkan ajaran Islam dan menjelek-jelekkan hukum-hukumnya,
menyebarkan keraguan kepada kaum muslimin terhadap kebenaran ajaran Islam,
membangkitkan kebencian kaum muslimin terhadap Islam, serta menyatakan bahwa
Islamlah yang menjadi sebab kemerosotan dan kemunduran mereka. Sebaliknya,
negara-negara Eropa mengagung-agungkan Barat dan peradabannya,
membangga-banggakan ide dan sistem demokrasi, serta menggembar-gemborkan
kehebatan peraturan dan undang-undang demokrasi itu.
Selain
itu, negara-negara Eropa juga menggunakan cara penyesatan. Yaitu menyebarkan
sangkaan di tengah-tengah kaum muslimin bahwa peradaban Barat tidak
bertentangan dengan peradaban Islam, dengan alasan bahwa peradaban Barat
sebenarnya berasal dari Islam juga, dan bahwa peraturan dan undang-undang Barat
sesungguhnya tidak menyalahi hukum-hukum Islam.
Mereka
juga melekatkan sifat Islam pada ide dan peraturan demokrasi, serta menyatakan
bahwa demokrasi tidak menyalahi atau bertentangan dengan Islam. Bahkan mereka
katakan demokrasi itu berasal dari Islam itu sendiri, atau identik dengan
musyawarah, amar ma'ruf nahi munkar, dan mengoreksi penguasa.
Propaganda
mereka ini ternyata sangat mem-pengaruhi kaum muslimin sehingga akhirnya mereka
dapat dikendalikan oleh ide-ide dan peradaban Barat.
Propaganda
tersebut juga berhasil mendorong kaum muslimin untuk mengambil beberapa
peraturan dan undang-undang Barat pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah. Dan
setelah negara khilafah hancur, kaum muslimin malahan mengambil sebagian besar
peraturan dan undang-undang Barat.
Propaganda
Barat itu berhasil pula mempe-ngaruhi kaum terpelajar, para politikus, para
pengem-ban Tsaqafah Islamiyah, sebagian pengemban dakwah Islam, dan
mayoritas kaum muslimin.
Mengenai
kaum terpelajar, sesungguhnya sangat banyak dari mereka yang terpengaruh oleh
kebudayaan Barat —yang telah dijadikan asas pendidikan mereka— tatkala mereka
mempelajari kebudayaan tersebut di Barat ataupun di negeri-negeri Islam
sendiri. Ini disebabkan karena kurikulum pendidikan negeri-negeri Islam setelah
Perang Dunia I, telah disusun atas dasar falsafah dan pandangan hidup Barat.
Kondisi ini menyebabkan banyak dari kaum terpelajar yang akhirnya menggemari,
menggandrungi, dan bahkan mengagung-agungkan kebudayaan Barat. Sebaliknya
mereka mengingkari Tsaqafah Islamiyah dan hukum-hukum Islam jika
bertentangan dengan kebudayaan, peraturan, dan undang-undang Barat. Mereka pun
akhirnya membenci Islam sebagaimana halnya orang-orang kafir Eropa membenci
Islam, serta sangat memusuhi kebudayaan, peraturan, dan hukum Islam,
sebagaimana halnya kelakuan orang-orang Eropa yang kafir itu. Kaum terpelajar
ini akhirnya menjadi corong-corong propaganda bagi peradaban, ide, dan
peraturan Barat, sekaligus menjadi alat penghancur dan penghina bagi peradaban,
hukum, dan peraturan Islam.
Mengenai
para politikus, sesungguhnya mereka telah benar-benar mengikhlaskan dirinya
untuk mengabdi kepada Barat dan peraturannya. Mengikatkan diri dengan Barat dan
menjadikan Barat sebagai kiblat perhatian mereka. Mereka meminta tolong kepada
Barat, mengandalkan bantuannya, dan menobatkan diri sebagai penjaga berbagai
undang-undang dan peraturan Barat. Bahkan dengan suka rela mereka mengangkat
diri mereka sebagai budak-budak yang bertugas melestarikan kepentingan Barat
dan menjalankan semua konspirasinya yang sangat jahat.
Dengan
demikian mereka telah menyatakan permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya dan
telah mengumumkan perang terhadap "Islam politik" beserta
segenap pengemban dakwahnya yang ikhlas. Mereka mencurahkan segala potensi yang
mereka miliki untuk menghalang-halangi berdirinya negara Khilafah dan
kembalinya hukum yang diturunkan Allah ke tahta kekuasaan. Dilaknati Allah-lah
mereka, bagaimana mereka sampai berpaling dari kebenaran ?
Adapun
para pengemban Tsaqafah Islamiyah, sesungguhnya mereka tidak lagi
memiliki kesadaran terhadap Islam dan hakikat/realitas hukum-hukum syara',
serta tidak menyadari pula hakikat peradaban, ide, dan peraturan Barat. Selain
itu, mereka juga tidak mengetahui kontradiksi antara peradaban, ide, dan
pandangan hidup Barat dengan aqidah, hukum, peradaban, dan pandangan hidup
Islam.
Kondisi
tersebut terjadi karena taraf pemikiran kaum muslimin telah merosot sehingga
mereka sangat lemah dalam memahami Islam dan hukum-hukumnya, serta telah salah
paham dalam memahami cara penerapan syari’at Islam di tengah masyarakat.
Akibatnya,
Islam lalu ditafsirkan dengan pengertian yang tidak sesuai dengan kandungan nash-nash
syara'. Demikian juga hukum-hukum Islam ditakwilkan agar sesuai dengan
kondisi yang ada, bukan sebaliknya, yaitu mengubah kondisi yang ada agar sesuai
dengan hukum-hukum Islam. Mereka kemudian mengambil berbagai hukum yang tidak
ada dasarnya dari syara', atau dasarnya lemah, dengan hujah kaidah syar'iyah
rumusan mereka yang sangat keliru :
لاَ
يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ الزَّمَانِ
"Tidak diingkari adanya perubahan
hukum-hukum karena adanya perubahan zaman."
Akhirnya
Islam pun ditakwilkan banyak orang agar sesuai dengan setiap aliran, gagasan,
dan ideologi, walaupun penakwilan mereka bertentangan dengan hukum-hukum dan
pandangan hidup Islam. Mereka lalu mengatakan bahwa peradaban dan ide-ide Barat
tidaklah bertentangan dengan Islam dan hukum-hukum Islam, karena semua itu
justru diambil dari peradaban Islam. Mereka katakan pula bahwa sistem
pemerintahan demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme juga tidak bertentangan
dengan hukum-hukum Islam, padahal faktanya kedua sistem tersebut adalah sistem
kufur. Mereka berkata pula bahwa ide demokrasi dan kebebasan individu itu
berasal dari Islam, padahal kedua ide itu pada hakekatnya sangat bertentangan
dengan Islam.
Dengan demikian, muncullah
ketidakjelasan dalam benak mereka mengenai apa-apa yang boleh diambil kaum
muslimin dari bangsa dan umat lain —seperti ilmu kedokteran, perikanan,
matematika, kimia, pertanian, industri, peraturan lalu lintas, transportasi,
dan perkara mubah lainnya yang tidak menyalahi Islam— dengan apa-apa
yang tidak boleh mereka ambil, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan
Aqidah Islamiyah dan hukum-hukum syara'.
Hal-hal seperti ini tidak boleh
diambil dari bangsa dan umat lain. Sebab, segala sesuatu yang berhubungan
dengan aqidah dan hukum syara' tidak boleh diambil kecuali dari wahyu yang
dibawa Rasulullah, yaitu Al-Kitab dan As-Sunah, serta dalil-dalil
syara' yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunah, yaitu Qiyas
dan Ijma' Sahabat.
Ketidakjelasan
dalam benak mereka inilah yang akhirnya menyebabkan Barat mampu menjajakan
peradaban dan pandangan hidup mereka, ide demokrasi dan kapitalisme, serta ide
kebebasan individu di negeri-negeri Islam.
Sebelum
kami menjelaskan pertentangan demokrasi dengan Islam dan menerangkan hukum
syara' dalam pengambilan demokrasi, kami ingin mengupas tentang hal-hal yang
boleh dan yang tidak boleh diambil kaum muslimin dari umat dan bangsa lain.
Serta tentang hal-hal yang haram diambil oleh kaum muslimin, sesuai dengan
nash-nash dan hukum-hukum syara'. Penjelasan kami sebagai berikut :
1.
Sesungguhnya seluruh perbuatan manusia, dan seluruh
benda-benda yang digunakannya dan atau berhubungan dengan perbuatan manusia,
hukum asalnya adalah mengikuti Rasulullah SAW dan terikat dengan hukum-hukum
risalah beliau. Keumuman ayat-ayat hukum menunjukkan bahwa dalam
masalah-masalah tersebut wajib hukumnya merujuk kepada syara' dan terikat
dengan hukum-hukum syara'. Allah SWT berfirman :
وَ مَا آتَاكُمُ الرَسُولُ فَخُذُوهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوْا
"Apa-apa
yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada-mu maka terimalah/laksankanlah, dan
apa yang dila-rangnya bagimu maka tinggalkanlah." (Al-Hasyr 7)
فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيْمَا
شَجَرَ بَيْنَهُمْ
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muham-mad) sebagai
hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan,..." (An-Nisaa' 65)
وَ مَا اخْتَلَفْتُمْ فِيْهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إلَى
اللهِ
"Tentang sesuatu apapun kamu
berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah." (Asy-Syuura 10)
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَ
الرَّسُولِ
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul(Nya) (Sunnahnya)."
(An-Nisaa' 59)
Bersabda Rasulullah SAW:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa saja yang melakukan suatu
perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu
tertolak." (HR. Muslim)
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ
رَدٌّ
"Siapa saja yang mengada-adakan
—dalam urusan (agama) kami ini— sesuatu yang tidak berasal darinya, maka hal
itu tertolak."
(HR. Bukhari)
Dalil-dalil ini
menunjukkan bahwa mengikuti hukum syara' dan terikat dengannya adalah wajib.
Baik yang berkaitan dengan perbuatan manusia maupun benda-benda yang
digunakannya. Dengan demikian, seorang muslim tidak boleh melakukan atau
meninggalkan suatu perbuatan, kecuali setelah mengetahui hukum Allah untuk
perbuatan itu. Ia harus tahu apakah suatu perbuatan hukumnya wajib atau mandub
sehingga dia dapat melakukannya; ataukah hukumnya haram atau makruh sehingga
dia harus meninggalkannya, ataukah mubah
sehingga dia berhak memilih untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya.
Atas dasar inilah, maka untuk perbuatan manusia berlaku kaidah bahwa hukum
asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allah.
Adapun benda-benda yang berhubungan
dengan perbuatan manusia, maka hukum asalnya adalah mubah, selama tidak
terdapat dalil yang mengharamkannya. Jadi hukum asal benda adalah mubah.
Benda tidak diharamkan kecuali jika terdapat dalil syar'i yang menunjukkan
keharamannya.
Prinsip ini
didasarkan pada nash-nash syara' yang telah membolehkan manusia untuk
memanfaatkan semua benda yang ada (di alam sekitarnya), sesuai nash-nash umum
dalam masalah ini yang meliputi semua benda.
Allah SWT berfirman :
أَ لَمْ تَرَوا أَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ
مَا فِي السّمَوَاتِ وَ مَا فِي الأَرضِ
"Tidakkah kalian perhatikan
sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kalian apa saja yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi."
(Luqman 20)
Arti menundukkan seluruh apa yang ada
di langit dan bumi untuk manusia, adalah bahwasanya Allah SWT telah
membolehkan semua yang ada di dalamnya untuk dimanfaatkan oleh manusia. Allah
SWT berfirman pula :
هُوَ الّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ
جَمِيعًا
"Dialah (Allah) yang menciptakan
segala yang ada di bumi untuk kalian." (Al-Baqarah
29)
يَا أَيُّهَا النَّاس كُلُوا مِمَّا فِي
الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا
"Hai sekalian manusia, makanlah yang
halal lagi baik (tidak menjijikkan) dari apa yang terdapat di bumi."
(Al Baqarah 168)
هُوَ الَّذي جَعَلَ لَكُمْ الأَرضَ ذَلُولاً فَامْشُـوا
فِي مَنَاكِبِهَـا وَ
كُلُوا مِنْ رِزْقِهِ
"Dialah (Allah) yang menjadikan bumi itu mudah
bagi kalian, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari
rizki-Nya" (Al-Mulk
15)
Demikianlah. Semua ayat yang telah
membolehkan segala sesuatu itu bersifat umum dan keumumannya ini menunjukkan
hukum bolehnya memanfaatkan segala sesuatu yang ada. Dengan kata lain, hukum
bolehnya memanfaatkan semua benda telah ditunjukkan oleh khithab
(seruan) Asy-Syari' (Allah SWT) yang bersifat umum. Maka jika suatu
benda diharamkan, berarti harus ada nash syara' yang mengkhususkan keumuman
nash tersebut, serta menunjukkan pengecualian benda tersebut dari hukum mubah
yang bersifat umum. Misalnya firman Allah SWT :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ المَيْتَةُ وَ الدَّمُ وَ لَحْمُ
الخِنْزِيرِ وَ مَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ وَ الْمُنْخَنِقَةُ وَ
المَوْقُوذَةُ وَ المُتَرَدِّيَةُ وَ النَّطِيحَةُ وَ مَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاّ
مَا ذَكَّيْتُم وَ مَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ .
"Diharamkan bagi kalian (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, dan (diharamkan bagi
kalian) yang disembelih untuk berhala..." (Al-Maaidah
3)
Dari dalil-dalil
tersebut, maka hukum asal terhadap
benda-benda yang digunakan manusia, adalah mubah.
2.
Hukum-hukum
Syari'at Islam secara sempurna telah meliputi seluruh fakta yang telah ada,
problem yang sedang terjadi, dan kejadian yang mungkin akan ada pada masa
mendatang. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi, baik pada masa lalu, saat ini,
maupun masa depan, kecuali ada hukumnya dalam Syari'at Islam. Jadi, Syari'at
Islam telah menjangkau semua perbuatan manusia secara sempurna dan menyeluruh.
Allah SWT berfirman :
وَ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَ
هُدًى
وَ رَحْمَةً وَ بُشْرَى
لِلمُسْلِمِيْنَ
"Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab
(Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat
dan pemberi kabar gembira bagi orang-orang Islam." (An-Nahl 89)
مَا فَرَّطْنَا فِيْ الكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
"Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun
di dalam Al Kitab (Al-Quran)." (Al-An'aam 38)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ
وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَ رَضِيْتُ لَكُمُ الإِسلاَمَ دِينًا
"Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian ni'mat-Ku, dan
telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagi kalian." (Al-Maaidah 3)
Walhasil,
Syari'at Islam tidak pernah melalaikan satu pun perbuatan manusia. Bagaimana
pun juga perbuatan itu, Syari'at Islam pasti akan menetapkan dalil untuk suatu
perbuatan melalui nash Al-Quran dan Al-Hadits, atau dengan menetapkan tanda
(amaarah) dalam Al-Quran dan Al-Hadits yang menunjukkan maksud dari
tanda tersebut atau menunjukkan alasan penetapan hukumnya, sehingga hukum yang
ada dapat diterapkan pada setiap objek hukum yang mengandung tanda atau alasan
tersebut.
Jadi, secara
syar'i tidak mungkin ada perbuatan manusia yang tidak dijelaskan oleh dalil,
atau tanda yang menunjukkan status hukumnya. Ini berdasarkan keumuman firman
Allah SWT:
تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
"untuk
menjelaskan segala sesuatu"
(An Nahl 89).
Juga berdasarkan nash yang tegas bahwa
Allah SWT telah menyempurnakan agama Islam ini
(Al-Maaidah 3).
3.
Berdasarkan
dua poin penjelasan sebelumnya, jelaslah mana saja hal-hal yang boleh diambil
kaum muslimin —dari apa yang
dimiliki oleh umat dan bangsa lain— dan mana saja yang tidak boleh mereka
ambil.
Seluruh ide yang berhubungan dengan
sains, teknologi, penemuan-penemuan ilmiah, dan yang semisalnya, serta segala
macam bentuk benda/alat/ bangunan yang bercorak kekotaan dan terlahir dari
kemajuan sains dan teknologi, boleh diambil oleh kaum muslimin. Kecuali jika
terdapat aspek-aspek tertentu yang menyalahi ajaran Islam, maka kaum muslimin
haram untuk mengambilnya.
Ini dikarenakan
semua pemikiran yang berkaitan dengan sains dan teknologi tidaklah berhubungan
dengan Aqidah Islamiyah dan hukum-hukum syara' yang berkedudukan sebagai solusi
terhadap problematika manusia dalam kehidupan, melainkan dapat dikategorikan ke
dalam sesuatu yang mubah, yang dapat dimanfaatkan manusia dalam berbagai
urusan hidupnya.
Dalil untuk ketentuan tersebut adalah
ayat-ayat yang bersifat umum yang menerangkan bolehnya memanfaatkan seluruh
benda-benda yang ada di alam semesta bagi kepentingan manusia. Juga berdasarkan
hadits Nabi Muhammad SAW :
إِنَّمَا
أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ ، إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيءٍ مِنْ أَمْرِ دِينِكُمْ
فَخُذُوا بِهِ،
وَ إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيءٍ مِنْ أُمُوْرِ
دُنْيَاكُمْ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ
"Sesungguhnya aku ini manusia biasa
seperti kalian. Jika aku perintahkan kepada kalian mengenai sesuatu hal yang
termasuk dalam urusan agama kalian, maka laksanakanlah perintah itu. Tapi jika
aku perintahkan kalian mengenai sesuatu hal yang termasuk dalam urusan dunia
kalian, maka ketahuilah aku ini hanyalah manusia biasa." (HR.
Muslim).
Juga berdasarkan hadits Nabi SAW tentang
penyer-bukan korma sebagaimana sabdanya :
أَنْتُمْ أَدْرَى بِشُئُوونِ دُنْيَاكُمْ
"Kalian lebih mengetahui
urusan-urusan dunia kalian."
(HR. Muslim)
Juga berdasarkan tindakan Nabi SAW
tatkala mengutus beberapa shahabatnya ke suatu daerah di Yaman untuk
mempelajari pembuatan senjata perang.
Atas
dasar inilah, maka setiap perkara yang tidak termasuk masalah aqidah atau hukum
syara', boleh untuk diambil selama tidak menyalahi ajaran Islam dan sepanjang
tidak terdapat dalil khusus yang mengharamkannya.
Berdasarkan
uraian di atas, kaum muslimin dibolehkan mengambil semua ilmu-ilmu yang
ber-hubungan dengan kedokteran, teknik, matematika, astronomi, kimia, fisika,
pertanian, industri, transportasi, ilmu kelautan, geografi, ilmu ekonomi —yang
membahas aspek produksi, peningkatan kualitasnya, serta pengadaan sarana-sarana
produksi dan peningkatan kualitasnya. Sebab, ilmu ini bersifat universal dan
tidak dikhususkan untuk umat penganut Islam, kapitalisme atau sosialisme, dan
semua ilmu tersebut boleh diambil selama tidak menyalahi ajaran Islam.
Maka
dari itu, Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah keturunan
kera, tidak boleh diambil karena teori ini bertentangan dengan firman Allah SWT
:
خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ
كَالفَخَّارِ
"Dia menciptakan manusia dari tanah
kering seperti tembikar."
(Ar-Rahmaan 14)
وَ بَدَأَ خَلْقَ
الإِنْسَانِ مِنْ طِيْنٍ ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلاَلَةٍ مِنْ مَاءٍ
مَهِيْنٍ
"(Dialah Tuhan) yang memulai penciptaan
manusia dari tanah, kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari air yang
hina (mani)."
(As-Sajdah 7)
وَ مِنْ أَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ
طُرَابٍ
"Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah." (Ar-Ruum 20)
Sebagaimana
dibolehkan mengambil semua ilmu-ilmu seperti yang kami sebutkan di atas, kaum
muslimin dibolehkan pula mengambil benda apa saja yang dihasilkannya seperti
produk-produk industri, alat-alat, mesin-mesin, dan berbagai bentuk benda yang
bercorak kekotaan dan berhubungan dengan sivilisasi. Maka dari itu dibolehkan
mengambil pabrik-pabrik industri dalam segala jenisnya dan segala jenis
produknya. Dikecualikan di sini pabrik-pabrik yang memproduksi patung, minuman
keras, dan salib, karena terdapat nash yang mengharamkannya. Produk-produk
industri boleh diambil baik yang berupa benda kemiliteran maupun bukan, baik
industri berat —seperti tank, pesawat tempur, peluru kendali, satelit, bom
atom, bom hidrogen, bom elektronik, bom kimia, traktor, truk, kereta api, kapal
api— maupun industri ringan seperti industri konsumtif, senjata-senjata ringan,
alat-alat laboratorium, alat-alat kedokteran, alat-alat pertanian, furniture,
karpet, dan barang-barang konsumtif.
Semua yang telah disebutkan di atas boleh
diambil sebab semuanya termasuk dalam kategori benda-benda yang mubah,
dan dalam hal ini terdapat dalil umum yang menunjukkan ke-mubahannya.
Tindakan mengambilnya adalah berstatus mengamal-kan hukum syara', yaitu mubah,
dan juga dalam rangka mengikuti syari'at Rasulullah SAW sebab semua itu
termasuk mubah, sedang mubah merupakan salah satu hukum taklif (legal
capacity) yang lima, yaitu: wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.
4.
Adapun
ide-ide yang berkaitan dengan aqidah dan hukum-hukum syara', serta ide-ide yang
yang berhubungan dengan peradaban/kultur Islam, pan-dangan hidup Islam, dan
hukum-hukum yang menjadi solusi bagi seluruh problema manusia, maka semua ide
ini wajib disesuaikan dengan ketentuan syara', dan tidak boleh diambil dari
mana pun kecuali hanya dari Syari'at Islam saja. Artinya, hanya diambil dari
wahyu yang terkandung dalam Kitabullah, Sunah Rasul-Nya, dan apa-apa yang
ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma' Sahabat dan Qiyas, serta sama sekali
tidak boleh diambil dari selain sumber-sumber tersebut. Dalil syar'i untuk
ketentuan di atas adalah sebagai berikut :
a. Sesungguhnya
Allah SWT telah memerintahkan kita untuk mengambil apa saja yang dibawa oleh
Rasul SAW kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dilarang oleh beliau.
Allah SWT berfirman :
وَ مَا آتَاكُم الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَ مَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
"Apa saja
yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada kalian maka terimalah/laksanakanlah
dia, dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah." (Al-Hasyr 7)
Kata “مَا”
(apa saja) dalam ayat di atas termasuk bentuk kata yang bersifat umum, yang
berarti ayat itu mewajibkan kita mengambil semua hukum yang dibawa Nabi untuk
kita, dan menjauhi semua yang dilarang beliau bagi kita. Mafhum mukhalafah
(penentuan lawan hukum) dari ayat itu adalah bahwa kita tidak boleh mengambil
hukum dari selain hukum yang dibawa Nabi untuk kita.
b. Sesungguhnya Allah SWT telah
memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya. Allah
SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الذِينَ آمَنُوا أَطِيْعُوا
اللهَ وَ أَطِيْعُوا الرَّسُولَ
"Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (-Nya) dan ulil
amri (penguasa muslim yang menjalankan Syari'at Islam) di antara kamu." (An-Nisaa' 59)
Mentaati Allah dan
Rasul-Nya tidak mungkin terwujud kecuali dengan mengamalkan dan meng-ambil
hukum-hukum syara' yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.
c. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan
kaum muslimin untuk berpegang teguh dengan apa yang telah diputuskan Allah dan
Rasul-Nya, sebagaimana Dia telah memerintahkan mereka untuk kembali (merujuk)
kepada hukum Allah dan hukum Rasul-Nya ketika terjadi perselisihan dan
perbedaan pendapat. Allah SWT berfirman :
وَ مَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَ لاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ
وَ رَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمْ الخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
"Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka."
(Al-Ahzab 36)
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوه إلَى اللهِ وَ
الرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَ الْيَوْمَ الآخِرِ
"Kemudian
jika kalian (rakyat dan penguasa) ber-lainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembali-kanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunahnya), jika kalian
memang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir."
(An-Nisaa' 59)
d. Allah
SWT telah memerintahkan Rasul-Nya yang mulia untuk memberikan keputusan
berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah, dan mem-peringatkan beliau agar
waspada supaya tidak menyimpang sedikit pun dari hukum Allah SWT. Allah SWT
berfirman :
وَ أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الكِتَابَ بِالحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا
بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الكِتَابِ وَ مُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ
بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَ لاَ تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَهُمْ وَ احْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُكَ عَنْ بَعْضِ
مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ
"Dan kami
telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai
penghapus kitab-kitab tersebut; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (Al-Maaidah 48)
e. Sesungguhnya Allah SWT telah melarang
kaum muslimin untuk mengambil hukum dari selain Syari'at Islam. Allah SWT
berfirman :
فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
"Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
(Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka
perselisihkan."
(An-Nisaa' 65)
فَلْيَحْذَرِ الذِيْنَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ
تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ
أوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
"Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (An-Nuur
63)
يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى
الطَاغُوتِ وَ قَدْ أمِرُوا
أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
"Mereka
hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari
(kufur terhadap) thaghut itu." (An-Nisaa' 60)
Selain itu
Rasulullah SAW telah bersabda :
كُلُّ عَمَلٍ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ
"Setiap
perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu
tertolak."
(HR. Muslim)
Nash-nash syara' di atas menunjukkan dengan
jelas mengenai kewajiban untuk terikat dengan seluruh hukum yang dibawa Rasul
SAW untuk kita. Maka kita tidak boleh menghalalkan sesuatu kecuali apa yang
telah dihalalkan Allah, dan tidak boleh mengharamkan sesuatu kecuali apa yang
telah diharamkan Allah. Begitu pula apa yang tidak dibawa Rasul untuk kita,
kita tidak boleh mengambil-nya, dan apa yang tidak beliau haramkan atas kita,
kita tidak boleh mengharamkannya.
Jika kata “مَا” (apa saja) dalam
firman-Nya :
وَ مَا آتَاكُمْ
"Apa saja yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada
kalian." dan,
وَ مَا نَهـَاكُمْ
“dan apa saja
yang dilarangnya bagi kalian."
dikaitkan dengan
firman Allah SWT :
فَلْيَحْذَرِ الذِيْنَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ
تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ
أوْ يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيْمٌ
"Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (An-Nuur
63)
Maka, akan nampak
sangat jelas adanya kewajiban untuk mengambil apa yang dibawa Rasul saja, dan
bahwa mengambil (hukum) dari selain Rasul adalah dosa yang pelakunya akan
mendapatkan azab yang pedih. Bahkan Allah SWT tidak mengakui keimanan dari
orang yang berhakim kepada selain Rasul dalam perbuatan-perbuatannya. Allah SWT
berfirman :
فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
"Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
(Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka
perselisihkan."
(An-Nisaa' 65)
Hal ini
menunjukkan secara tegas mengenai pembatasan berhakim hanya pada apa yang
dibawa Rasul saja, apalagi Allah SWT telah memperingatkan Rasul-Nya untuk
waspada supaya tidak dipalingkan manusia dari sebagian apa yang diturunkan
Allah kepadanya. Allah SWT berfirman :
وَ احْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُكَ عَنْ بَعْضِ
مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ
"Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka (ahli kitab), supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang diturunkan Allah kepadamu." (Al-Maaidah 49)
Di samping itu,
Al-Quran telah mencela orang-orang yang hendak berhakim kepada hukum yang tidak
dibawa Rasul, yakni hendak kepada hukum-hukum kufur. Allah SWT berfirman :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الذِيْنَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوْا
بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَ مَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُونَ أَنْ
يَتَحَاكَمُوا إلَى الطَاغُوتِ وَ قَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَ يُرِيدُ
الشَيْطَانُ
أَنْ يُضِلَّهُم ضَلاَلاً بَعِيْدًا
"Apakah kamu
tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa
yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka
hendak berhakim kepada thaghut (hukum dan undang-undang kufur), padahal mereka
telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan
mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." (An-Nisaa' 60)
Hal ini
menunjukkan bahwa berhakim kepada hukum yang tidak dibawa Rasul adalah suatu
kesesatan, sebab tindakan ini berarti berhakim kepada thaghut, yakni kekufuran.
Padahal Allah SWT telah memerintahkan kaum muslimin untuk mengingkari thaghut
itu.
Berdasarkan
penjelasan sebelumnya, maka kaum muslimin tidak boleh mengambil peradaban/
kultur Barat, beserta segala peraturan dan undang-undang yang terlahir darinya.
Sebab, peradaban tersebut bertentangan dengan peradaban Islam. Kecuali
peraturan dan undang-undang
administratif yang bersifat mubah dan boleh diambil, sebagaimana
Umar bin Khaththab telah mengambil peraturan administrasi perkantoran dari
Persia dan Romawi.
Peradaban Barat berdiri di atas aqidah
pemisahan agama dari kehidupan, serta pemisahan agama dari negara.
Sementara
peradaban Islam berlandaskan pada Aqidah Islamiyah, yang telah mewajibkan
pelaksanaan kehidupan bernegara berdasarkan perintah dan larangan Allah, yakni
hukum-hukum syara'.
Peradaban
Barat berdiri di atas asas manfaat (oportunity), dan menjadikannya
sebagai tolok ukur bagi seluruh perbuatan. Dengan demikian, peradaban Barat
adalah peradaban yang hanya mempertim-bangkan nilai manfaat saja, serta tidak
memperhi-tungkan nilai apa pun selain nilai manfaat yang bersifat
materialistik. Karena itu, dalam peradaban Barat tidak akan dijumpai nilai
kerohanian, nilai akhlak, dan nilai kemanusiaan.
Sementara
itu peradaban Islam berdiri di atas landasan rohani (spiritual), yakni iman
kepada Allah, dan menjadikan prinsip halal-haram sebagai tolok ukur seluruh
perbuatan manusia dalam kehidupan, serta mengendalikan seluruh aktivitas dan
nilai berdasarkan perintah dan larangan Allah.
Peradaban
Barat menganggap kebahagiaan adalah memberikan kenikmatan jasmani yang sebesar-besarnya
kepada manusia dan segala sarana untuk memperolehnya.
Sementara
itu peradaban Islam menganggap kebahagiaan adalah diraihnya ridla Allah
SWT. Peradaban tersebut mengatur pemenuhan kebutuhan naluri dan jasmani manusia
berdasarkan hukum-hukum syara'.
Atas
dasar itulah, maka kaum muslimin tidak boleh mengambil sistem pemerintahan
demokrasi, sistem ekonomi kapitalisme, dan sistem kebebasan individu yang ada
di negara-negara Barat. Dengan demikian, kaum muslimin tidak boleh mengambil
konstitusi dan undang-undang demokrasi, sistem pemerintahan kerajaan dan
republik, bank-bank ribawi, dan sistem bursa dan pasar uang internasional. Kaum
muslimin tidak boleh mengambil semua peraturan ini karena semuanya merupakan
peraturan dan undang-undang kufur yang sangat bertentangan dengan hukum dan
peraturan Islam.
Sebagaimana
tidak boleh mengambil peradaban Barat beserta segenap ide dan peraturan yang
terlahir darinya, maka kaum muslimin juga tidak boleh mengambil
peradaban/kultur komunisme. Sebab, peradaban ini juga bertentangan dengan
peradaban Islam secara menyeluruh.
Peradaban
komunisme berdiri di atas suatu aqidah yaitu bahwa tidak ada pencipta terhadap
alam semesta ini, dan bahwa materilah yang menjadi asal usul segala benda.
Seluruh benda di alam semesta ini dianggapnya berasal dari materi melalui jalan
evolusi materi.
Sedangkan
peradaban Islam berdiri di atas prinsip bahwa Allah sajalah yang menjadi
pencipta alam semesta ini, dan bahwa seluruh benda yang ada di alam semesta
merupakan makhluk Allah SWT. Allah telah mengutus para nabi dan rasul dengan
membawa agama-Nya kepada umat manusia dan mewajibkan mereka untuk mengikuti
perintah dan larangan-Nya yang telah diturunkan kepada mereka.
Peradaban
komunisme menganggap bahwa peraturan hanya diambil dari alat-alat produksi.
Masyarakat feodal menggunakan kapak sebagai alat produksinya, maka dari
alat tersebut diambil peraturan feodalisme. Dan jika masyarakat itu berkembang
menjadi masyarakat kapitalisme, maka mesin menjadi alat produksi, dan dari alat
ini diambil peraturan kapitalisme. Jadi peraturan komunisme diambil dari
evolusi materi.
Sedangkan
peradaban Islam, menganggap bahwa Allah SWT telah menetapkan suatu peraturan
bagi manusia untuk dilaksanakan dalam hidupnya, dan mengutus Sayyidina Muhammad
SAW untuk membawa peraturan ini, dan Rasul telah menyampaikan peraturan
tersebut kepada manusia, dan mewajibkan mereka untuk melaksanakannya.
Peradaban
komunisme memandang bahwa peraturan materi adalah tolok ukur dalam kehidupan.
Dengan berkembangnya peraturan materi tersebut, maka berkembanglah tolok ukur
dalam kehidupan.
Sementara
itu peradaban Islam memandang halal-haram —yakni perintah dan larangan Allah—
sebagai tolok ukur perbuatan dalam kehidupan. Yang halal dikerjakan, dan yang
haram ditinggalkan. Dan bahwasanya hukum-hukum ini tidak akan berevolusi dan
atau berubah. Prinsip halal-haram ini juga tidak akan ditetapkan berdasarkan
asas manfaat ataupun materialisme, malinkan ditetapkan atas dasar syara’
semata. Dari sinilah jelas terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara
peradaban komunisme dan peradaban Islam. Dengan demikian, kaum muslimin tidak
boleh mengambil peradaban komunisme beserta segala ide dan peraturan yang
berasal darinya.
Karenanya,
kaum muslimin tidak boleh mengambil ide evolusi materi, ide penghapusan
kepe-milikan individu, penghapusan kepemilikian pabrik dan alat produksi, dan
penghapusan kepemilikan tanah bagi individu. Begitu pula kaum muslimin tidak
boleh mengambil ide mempertuhankan manusia, ide menyembah manusia, dan seluruh
ide atau peraturan dari peradaban yang atheistik ini. Sebab, semuanya adalah
ide dan peraturan kufur yang bertentangan dengan Aqidah Islam serta ide-ide dan
hukum-hukum Islam.
Sekarang
kami akan menjelaskan pertentangan total antara demokrasi dengan Islam dari segi
sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya, asas yang mendasarinya, serta
ide dan peraturan yang dibawanya.
Sumber
kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al-haakim)
untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia
dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus demokrasi adalah para
filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan
sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Dengan
demikian, jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia, dan bahwa pemutus segala
sesuatu adalah akal manusia.
Sedangkan
Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal
dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada rasul-Nya Muhammad bin Abdullah
SAW. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
وَ
مَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
"Dan
tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain
hanya berupa wahyu yang diwahyukan." (An-Najm 3-4)
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ القَدْرِ
"Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan." (Al-Qadr 1)
Yang
menjadi pemutus dalam Islam, yaitu yang memberikan penilaian terpuji dan
tercelanya benda dan perbuatan manusia, adalah Allah SWT, atau syara', bukannya
akal. Aktivitas akal terbatas hanya untuk memahami nash-nash yang berkenaan
dengan hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman :
إِنِ
الحُكْمُ إلاَّ للهِ
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah."
(Al-An'aam 57)
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ اَلى اللهِ وَ الرَّسُولِ
"Kemudian jika kamu (rakyat dan
negara) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada Allah
(Al-Quran) dan Rasul (Sunahnya)."
(An-Nisaa' 59)
وَمَا
اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إلَى اللهِ
"Tentang apapun kamu berselisih,
maka putusannya (terserah) kepada Allah." (Asy-Syuuraa
10)
Adapun
aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari
kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan
tengah (kompromi) antara para
rohaniwan Kristen —yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan
tunggangan untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat, menghisap darah mereka
atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan
agama— dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan
menolak otoritas para rohaniwan.
Aqidah
ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya
untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini
ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya
sendiri.
Aqidah
inilah yang menjadi landasan pemikiran (Qaidah Fikriyah) ide-ide Barat.
Dari aqidah ini lahir peraturan hidupnya dan atas asas dasar aqidah ini Barat
menentukan orientasi pemikirannya dan pandangan hidupnya. Dari aqidah ini pula
lahir ide demokrasi.
Sedangkan
Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di
atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan
larangan Allah —yakni hukum-hukum syara' yang lahir dari Aqidah Islamiyah—
dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa
manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya
berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah SWT
untuk manusia.
Aqidah
Islamiyah inilah yang menjadi asas peradaban/kultur dan pandangan hidup Islam.
Mengenai
ide yang melandasi demokrasi, sesung-guhnya terdapat dua ide yang pokok : Perta-ma,
kedaulatan di tangan rakyat. Kedua, rakyat sebagai sumber
kekuasaan.
Demokrasi
menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan
para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri.
Berdasarkan
prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak,
maka rakyat berhak membuat hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan
kehendak rakyat dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat
hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil
rakyat.
Rakyat
berhak menetapkan konstitusi, peraturan, dan undang-undang apa pun. Rakyat
berhak pula membatalkan konstitusi, peraturan, dan hukum apa pun, menurut pertimbangan
mereka berdasarkan kemaslahatan yang ada. Dengan demikian rakyat berhak
mengubah sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi republik atau sebaliknya,
sebagaimana rakyat juga berhak mengubah sistem republik presidentil menjadi
republik parlementer atau sebaliknya. Hal ini pernah terjadi, misalnya di
Perancis, Italia, Spanyol, Yunani, di mana rakyatnya telah mengubah sistem
pemerintahan yang ada dari kerajaan menjadi republik dan dari republik menjadi
kerajaan.
Demikian
pula rakyat berhak mengubah sistem ekonomi dari kapitalisme menjadi sosialisme
atau sebaliknya. Dan rakyat pun melalui para wakilnya dianggap berhak
menetapkan hukum mengenai bolehnya murtad dari satu agama kepada agama lain,
atau kepada keyakinan yang non-agama (animisme/paganisme), sebagaimana
rakyat dianggap berhak menetapkan hukum bolehnya zina, homoseksual, serta
mencari nafkah dengan jalan zina dan homoseksual itu.
Berdasarkan
prinsip bahwa rakyat sebagai sumber kekuasaan, maka rakyat dapat memilih
penguasa yang diinginkannya untuk menerapkan peraturan yang dibuat rakyat dan
untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum itu. Rakyat juga berhak
memberhentikan penguasa dan menggantinya dengan penguasa lain. Jadi, rakyatlah
yang memiliki kekuasaan, sedang penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat.
Sementara
itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara', bukan di
tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri'
(pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun
hanya satu hukum. Kalau sekiranya seluruh umat
Islam berkumpul lalu menyepakati bolehnya riba untuk meningkatkan
kondisi perekonomian, atau menyepakati bolehnya lokalisasi perzinaan dengan
dalih agar zina tidak menyebar luas di tengah masyarakat, atau menyepakati
penghapusan kepemilikan individu, atau menyepakati penghapusan puasa Ramadlan
agar dapat meningkatkan produktivitas kerja, atau menyepakati pengadopsian ide
kebebasan individu yang memberikan kebebasan kepada seorang muslim untuk
meyakini aqidah apa saja yang diinginkannya, dan yang memberikan hak kepadanya
untuk mengembangkan hartanya dengan segala cara meskipun haram, yang memberikan
kebebasan berperilaku kepadanya untuk menikmati hidup sesuka hatinya seperti
menenggak khamr dan berzina; maka seluruh kesepakatan ini tidak ada nilainya
sama sekali. Bahkan dalam pandangan Islam seluruh kesepakatan itu tidak senilai
walaupun dengan sebuah sayap nyamuk.
Jika
ada sekelompok kaum muslimin yang menyepakati hal-hal tersebut, maka mereka
wajib diperangi sampai mereka melepaskan diri dari kesepakatan tersebut.
Yang
demikian itu karena kaum muslimin dalam seluruh aktivitas hidup mereka
senantiasa wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah. Mereka tidak boleh
melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam,
sebagaimana mereka tidak boleh membuat satu hukum pun, dikarenakan memang hanya
Allah saja yang layak bertindak sebagai Musyarri'. Allah SWT berfirman :
فَلاَ
وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim
(pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan." (An-Nisaa' 65)
إِنِ
الحُكْمُ إلاّ للهِ
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah."
(Al-An'aam 57)
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الذِيْنَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوْا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَ
مَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إلَى الطَاغُوتِ وَ
قَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَ يُرِيدُ الشَيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُم
ضَلاَلاً بَعِيْدًا
"Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan
kepadamu (Al-Quran) dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak
berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut
itu." (An-Nisaa'
60)
Berhakim
kepada thaghut artinya berhakim kepada hukum yang tidak diturunkan
Allah. Atau dengan kata lain, berhakim kepada hukum-hukum kufur yang dibuat
manusia.
Dan
Allah SWT berfirman :
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَ مَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka
kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin."
(Al-Maaidah 50)
Hukum
Jahiliyah adalah hukum yang tidak dibawa Muhammad SAW dari Tuhannya. Yaitu
hukum kufur yang dibuat oleh manusia. Allah SWT berfirman juga :
فَلْيَحْذَرِ
الذِيْنَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ
أوْ يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيْمٌ
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang
pedih." (An-Nuur 63).
Yang
dimaksud menyalahi perintah Rasul —sesuatu yang harus diwaspadai itu— adalah
mengikuti hukum yang dibuat manusia dan meninggalkan hukum yang dibawa Nabi
Muhammad SAW. Rasululah SAW bersabda :
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa saja yang melakukan perbuatan
yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak."
(HR. Muslim)
Yang
dimaksud dengan kata "amruna" (perintah kami) dalam hadits di
atas adalah Islam.
Masih
ada puluhan ayat dan hadits lain dengan pengertian yang qath'i (pasti), yang menegaskan bahwa kedaulatan
adalah di tangan syara', yakni bahwa Allah sajalah yang menjadi Musyarri',
bahwa manusia tidak boleh membuat hukum, serta bahwa mereka wajib untuk
melaksanakan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan ini sesuai dengan perintah dan larangan Allah.
Islam
telah menetapkan bahwa pelaksanaan perintah dan larangan Allah itu ada di
tangan kaum muslimin, sementara pelaksanaan perintah dan larangan Allah
tersebut membutuhkan suatu kekuasaan untuk melaksanakannya.
Karena
itu, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya,
bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan
pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.
Prinsip
ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai'at, yang menetapkan adanya
hak mengangkat khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai'at
untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya. Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ
مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
"Dan siapa saja yang mati sedang di
lehernya tidak terdapat bai'at (kepada khalifah), berarti dia telah mati
jahiliyah."(HR.
Muslim)
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Amr ra, bahwa dia berkata, "Aku pernah mendengar
Rasulullah SAW bersabda:
وَ
مَنْ بَايعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ
فَلْيُطِعْهُ إنِ اسْتَطَاعَ، فَإِنْ
جَاءَ آخَرُ يُنَازِعْهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الآخَرِ
"Siapa saja yang membai'at seorang
imam (khalifah) dan memberikan kepadanya genggaman tangan dan buah hatinya
(bertekad janji), maka hendaklah dia mentaatinya sekuat kemampuannya. Dan jika
ada orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, maka penggalllah batang
lehernya." (HR. Muslim)
Dari
Ubadah bin Ash Shamit ra, dia mengatakan:
بَايَعْنَا رَسُولَ
اللهِ r
عَلَى السَّمْعِ وَ الطَاعَةِ فِي المَكرَهِ و المَنْشطِ
"Kami telah membai'at Nabi SAW untuk mendengar dan
mentaatinya baik dalam hal yang dibenci maupun yang disukai."
Di
samping itu masih banyak hadits lain yang menerangkan bahwa umatlah yang
mengangkat penguasa dengan jalan bai'at untuk mengamalkan Kitabullah dan
Sunah Rasul-Nya.
Meskipun
syara' telah menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat —yang diwakilkan
kepada seorang khalifah untuk memerintah umat melalui prosesi bai'at—
akan tetapi syara' tidak memberikan hak kepada umat untuk memberhentikan
penguasa, seperti yang ada dalam sistem demokrasi.
Ketentuan
ini didasarkan pada hadits-hadits yang mewajibkan taat kepada khalifah meskipun
dia berbuat zhalim, selama dia tidak memerintahkan maksiat. Dari Ibnu Abbas
ra, dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ
رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ
الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
'Siapa saja yang melihat dari pemimpinnya
sesuatu yang dia benci, maka hendaklah dia bersabar. Karena sesungguhnya siapa
saja yang memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal lalu mati, maka dia mati
jahiliyah."
Dari
'Auf bin Malik ra, dia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah
SAW bersabda :
...وًشِرَارُ أئِمَّتِكُمْ الذِيْنَ
تُبْغِضُوْنَهُمْ وَ يُبْغِضُونَكُمْ وَ تَلْعَنُوْنَكُمْ وَ يَلْعَنُونَكُمْ، قَال : قُلْنَا يَا
رَسُولَ اللهِ: أَفَلاَ نُنَابِذَهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ ؟ قَال : لاَ ، مَا أقَامُوا
فِيكُمْ الصَلاَةَ ، ألاَ مَنْ وَليَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرآهُ يَأتِي شَيْئًا مِنْ
مَعْصِيَةِ اللهِ فَليَكْرَههُ مَا يَأتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ
وَ
لاَ يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
'...sejahat-jahat pemimpin kalian adalah
pemimpin yang kalian benci sedang mereka pun membenci kalian, kalian melaknat
mereka sedang mereka pun melaknat kalian. 'Auf bin Malik lalu berkata,"Kami lalu bertanya,
'Wahai Rasulullah, apakah tidak kita perangi saja mereka pada saat itu ?"
Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, selama mereka masih mendirikan sholat
di tengah-tengah kalian, kecuali bila seseorang —yang menjadi rakyat seorang
penguasa— menyaksikan penguasa itu mengerjakan perbuatan ma'shiat. Maka
hendaklah dia membenci kemaksiatan yang dilakukan penguasa tersebut, tetapi
sekali-kali dia tidak boleh melepaskan ketaatan kepadanya."
Yang
dimaksud dengan "mendirikan shalat" dalam hadits di atas ialah
"melaksanakan hukum-hukum Islam". Karena ungkapan tersebut merupakan
ungkapan majazi (kiasan), yakni menyebut sebagian tetapi yang dimaksud
adalah keseluruhannya.
Demikian
pula umat tidak boleh memberontak terhadap penguasa kecuali jika dia
menampakkan kekufuran yang terang-terangan, sebagaimana hadits Ubadah bin
Ash Shamit mengenai bai'at. Dalam hadits itu terdapat keterangan :
...فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيْمَا
أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَمْع وَ الطَاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَ
مَكْرَهِنَا وَ عُسْرِنَا وَ يُسْرِنَا وَ أَثَرَةٍ عَلَيْنَا ، وَ أَنْ لاَ
نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ إلاّ أَنْ تَرَاوْ كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ
اللهِ فِيْهِ بُرهَانٌ
"...Maka kami membai'at beliau
(Rasul). Rasulullah menjelaskan apa-apa yang harus kami lakukan, yakni bahwa
kami membai'at beliau untuk mendengar dan mentaatinya, dalam apa yang kami
sukai dan apa yang kami benci, dalam apa yang sukar dan yang mudah bagi kami,
serta untuk tidak lebih mengutamakan diri (daripada orang lain). Dan kami juga
tidak akan merebut kekuasaan dari yang berhak, kecuali (Rasulullah mengatakan)', jika kalian
menyaksikan kekufuran yang nyata, yang kalian mempunyai bukti yang kuat
tentangnya dari sisi Allah."
Yang
mempunyai wewenang memberhentikan khalifah adalah Mahkamah Mazhalim. Ini
dikarenakan bahwa terjadinya suatu kasus yang dapat menjadi alasan
diberhentikannya khalifah, merupakan suatu jenis kezhaliman yang harus
dilenyapkan. Dan kasus itu juga dianggap sebagai kasus yang memerlukan
penetapan (itsbat) yang harus dilakukan di hadapan hakim.
Mengingat
Mahkamah Mazhalim merupakan lembaga yang berwenang memutuskan pelenyapan
kezhaliman dalam Daulah Islamiyah, sementara hakimnya memang berwenang
untuk menetapkan terjadinya kezhaliman dan memutuskannya, maka Mahkamah
Mazhalimlah yang berhak memutuskan apakah kasus kezhaliman di atas telah
terjadi atau tidak. Mahkamah Mazhalim pula yang berhak memutuskan pemberhentian
khalifah.
Demokrasi
dapat dianggap sebagai pemerintahan mayoritas dan hukum mayoritas. Karenanya
pemilihan para penguasa, anggota dewan perwakilan, serta anggota berbagai
lembaga, kekuasaan, dan organisasi, semuanya didasarkan pertimbangan suara
bulat (mayoritas). Demikian juga pembuatan hukum di dewan perwakilan,
pengambilan keputusan di berbagai dewan, kekuasaan, lembaga, dan organisasi,
seluruhnya dilaksanakan berdasarkan pendapat mayoritas.
Oleh
karena itu, dalam sistem demokrasi pendapat mayoritas bersifat mengikat bagi
semua pihak, baik penguasa maupun bukan. Sebab pendapat mayoritas merupakan
sesuatu yang mengungkapkan kehendak rakyat. Jadi pihak minoritas tidak
mempunyai pilihan kecuali tunduk dan mengikuti pendapat mayoritas.
Sedangkan
dalam Islam, permasalahannya sangatlah berbeda. Dalam masalah penentuan hukum,
kriterianya tidak tergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan
pada nash-nash syara'. Sebab, yang menjadi
Musyarri' hanyalah Allah
SWT, bukan umat.
Adapun
pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengadopsi (melakukan proses legislasi)
hukum-hukum syara' yang menjadi keharusan untuk memelihara urusan umat dan
menjalankan roda pemerintahan, adalah khalifah saja. Khalifah mengambil
hukum syara' dari nash-nash syara' dalam Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya,
berdasarkan kriteria kekuatan dalil melalui proses ijtihad yang benar. Dalam
hal ini khalifah tidak wajib meminta pendapat Majelis Umat mengenai
hukum-hukum yang akan dilegalisasikannya, meskipun hal ini boleh saja dia
lakukan. Para Khulafa' Rasyidin dahulu telah meminta pendapat para
shahabat ketika mereka hendak mengadopsi suatu hukum syara', misalnya Umar bin
Khaththab pernah meminta pendapat kaum muslimin tatkala dia hendak mengadopsi
hukum syara' mengenai masalah tanah-tanah taklukan di Syam, Mesir, dan Irak.
Umar bin Khaththab telah meminta pendapat kaum muslimin dalam masalah tersebut.
Jika
khalifah meminta pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum syara' yang
hendak diadopsinya, maka pendapat Majelis Umat ini tidak mengikat khalifah,
meskipun pendapat itu diputuskan berdasarkan suara bulat atau suara mayoritas.
Yang demikian ini karena Rasulullah SAW pernah mengesampingkan pendapat kaum
muslimin yang menolak penetapan Perjanjian Hudaibiyah. Padahal pendapat kaum
muslimin waktu itu merupakan pendapat mayoritas. Tetapi toh Rasulullah menolak
pendapat mereka, dan tetap menyepakati Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah SAW
bersabda kepada mereka :
إِنِّي
عَبْدَ اللهِ وَ رَسُوْلَهُوَ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ
"Sesungguhnya
aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan sekali-kali aku tidak akan
menyalahi perintah-Nya."
Selain itu para shahabat yang mulia
telah bersepakat bahwa seorang Imam (Khalifah) memang berhak untuk
mengadopsi hukum-hukum syara' tertentu, serta berhak memerintahkan rakyat untuk
mengamalkannya. Kaum muslimin wajib mentaatinya dan meninggalkan pendapat
mereka. Dari adanya Ijma' Shahabat inilah di-istimbath (diambil dan
ditetapkan) kaidah-kaidah syara' yang terkenal :
أَمْرُ
الإِمَامِ يَرْفَعُ الخِلاَفَ
"Perintah (keputusan) Imam
(khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat."
أَمْرُ
الإِمَامِ نَافِذٌ ظَاهِرًا وَ بَاطِنًا
"Perintah (keputusan) Imam wajib
dilaksanakan, baik secara lahir maupun batin."
لِلسُّلْطَانِ
أَنْ يُحْدِثَ مِنَ الأَقْضِيَةِ بِقَدْرِ مَا يَحْدُثُ مِنْ مُشْكِلاَتٍ
"Penguasa
(khalifah) berhak mengeluarkan keputusan-keputusan (hukum) baru, sesuai
perkembangan problem yang terjadi."
Di
samping itu, Allah SWT telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri,
sebagaimana firman-Nya:
أَطِيْعُوا
اللهَ وَ أَطِيْعُوا الرَّسُولَ وَ أولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan Ulil Amri di antara kamu."
Yang dimaksud dengan ulil amri
dalam ayat di atas adalah para penguasa muslim yang menerapkan hukum Islam.
Adapun
masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan
keahlian, pemikiran, dan pertimbangan yang mendalam, maka yang dijadikan
kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya. Bukan berdasarkan suara mayoritas
atau minoritas. Jadi masalah yang ada harus dikembalikan kepada para ahlinya.
Merekalah yang dapat memahami permasalahan yang ada dengan tepat.
Masalah-masalah kemiliteran dikembalikan kepada para pakar militer. Masalah-masalah
fiqih dikem-balikan kepada para fuqaha dan mujtahidin. Masalah-masalah medis
dikembalikan kepada para dokter spesialis. Masalah-masalah teknik dikembalikan
kepada para pakar insinyur teknik. Masalah-masalah ide/gagasan dikembalikan
kepada para pemikir besar. Demikian seterusnya.
Dengan
demikian yang menjadi patokan dalam masalah-masalah seperti ini adalah
ketepatan, bukan suara mayoritas. Dan pendapat yang tepat diambil dari pihak
yang berkompeten, yaitu para ahlinya, bukan berdasarkan suara mayoritas.
Yang
patut dicatat, bahwa para anggota majlis perwakilan rakyat (parlemen) baik yang
ada di negeri-negeri Islam maupun di Barat saat ini, sebagian besarnya bukanlah
orang yang berkeahlian, dan bukan pula orang yang mampu memahami setiap
permasalahan secara tepat. Sehingga suara mayoritas anggota lembaga perwakilan
yang ada sebenarnya tidak ada faedahnya dan bahkan tidak ada nilainya sama
sekali. Persetujuan atau penentangan mereka di dalam sidang majlis hanya berupa
formalitas belaka, tidak didasarkan pada pemahaman, kesadaran, atau pengetahuan
yang tepat.
Oleh
karena itu, dalam masalah-masalah yang memerlukan keahlian seperti tersebut di
atas, suara mayoritas tidaklah bersifat mengikat.
Dalil
untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah SAW mengikuti pendapat
Al Hubab bin Al Mundzir pada Perang Badar —yang saat itu merupakan pakar dalam
hal tempat-tempat strategis— yang meng-usulkan kepada Nabi agar meninggalkan
tempat yang dipilih Nabi, kalau sekiranya ketentuan tempat itu bukan dari
wahyu. Al Hubab memandang tempat tersebut tidak layak untuk kepentingan
pertempuran. Maka Rasulullah mengikuti pendapat Al Hubab dan berpindah ke suatu
tempat yang ditunjukkan oleh Al Hubab. Jadi Rasulullah SAW telah meninggalkan
pendapatnya sendiri dan tidak meminta pertimbangan kepada para shahabat lainnya
dalam masalah tersebut.
Adapun
masalah-masalah yang langsung menuju kepada amal (praktis), yang tidak
memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam, maka yang menjadi patokan
adalah suara mayoritas, sebab mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat
memberikan pendapatnya dengan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada.
Masalah-masalah seperti ini contohnya, apakah kita akan memilih si A atau si B
(sebagai kepala negara atau ketua organisasi misalnya, pen.), apakah kita akan
keluar kota atau tidak, apakah kita akan menempuh perjalanan pada pagi hari
atau malam hari, apakah kita akan naik
pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api. Masalah-masalah seperti ini dapat
dimengerti oleh setiap orang sehingga mereka dapat memberikan pendapatnya. Oleh
karena itu, dalam masalah-masalah seperti ini suara mayoritas dapat dijadikan
pedoman dan bersifat mengikat.
Dalil
untuk ketentuan tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada Rasulullah SAW
ketika Perang Uhud. Rasulullah SAW dan para shahabat senior berpendapat bahwa
kaum muslimin tidak perlu keluar dari kota Madinah. Sedang mayoritas shahabat
—khususnya para pemudanya— berpendapat bahwa kaum muslimin hendaknya keluar
dari kota Madinah guna menghadapi kaum Quraisy di luar kota Madinah. Jadi
pendapat yang ada berkisar di antara dua pilihan, keluar kota Madinah atau
tidak.
Dikarenakan
mayoritas shahabat berpendapat untuk keluar kota Madinah, maka Nabi SAW
mengikuti pendapat mereka dan mengabaikan pendapat para shahabat senior, serta
berangkat menuju Uhud di luar kota Madinah untuk menghadapi pasukan Quraisy.
***
Adapun
ide kebebasan individu, sesungguhnya merupakan salah satu ide yang paling
menonjol dalam demokrasi. Ide ini dianggap sebagai salah satu pilar penting
dalam demokrasi, sebab dengan ide ini tiap-tiap individu akan dapat
melaksanakan dan menjalankan kehendaknya seperti yang diinginkannya tanpa
tekanan atau paksaan. Rakyat dianggap tidak akan dapat mengekspresikan kehendak
umumnya kecuali dengan terpenuhinya kebebasan individu bagi seluruh rakyat.
Kebebasan
individu merupakan suatu ajaran suci dalam sistem demokrasi, sehingga baik
negara maupun individu tidak dibenarkan melanggarnya. Sistem demokrasi
kapitalis menganggap bahwa adanya peraturan yang bersifat individualistik,
serta pemeliharaan dan penjagaan terhadap kebebasan individu, merupakan salah
satu tugas utama negara.
Kebebasan
individu yang dibawa demokrasi tidak dapat diartikan sebagai pembebasan
bangsa-bangsa terjajah dari negara-negara penjajahnya yang telah
meng-eksploitir dan merampas kekayaan alamnya. Sebabnya karena ide penjajahan
tiada lain adalah salah satu buah dari ide kebebasan kepemilikan, yang justru
dibawa oleh demokrasi itu sendiri.
Demikian
pula kebebasan individu tidak berarti pembebasan dari perbudakan, sebab budak
saat ini sudah tidak ada lagi.
Yang
dimaksud dengan kebebasan individu tiada lain adalah empat macam kebebasan
berikut ini :
1.
Kebebasan beragama.
2.
Kebebasan berpendapat.
3.
Kebebasan kepemilikan.
4. Kebebasan bertingkah laku.
Keempat
macam kebebasan ini tidak ada dalam kamus Islam, sebab seorang muslim wajib
mengikatkan diri dengan hukum syara' dalam seluruh perbuatannya. Seorang muslim
tidak dibenarkan berbuat sekehendaknya. Dalam Islam tidak ada yang namanya
kebebasan kecuali kebebasan budak dari perbudakan, sedang perbudakan itu
sendiri sudah lenyap sejak lama.
Keempat
macam kebebasan tersebut sangat berten-tangan dengan Islam dalam segala
aspeknya sebagaimana penjelasan kami berikutnya.
***
Kebebasan
beragama berarti seseorang berhak meyakini suatu aqidah yang dikehendakinya,
atau memeluk agama yang disenanginya, tanpa tekanan atau paksaan. Dia berhak
pula meninggalkan aqidah dan agamanya, atau berpindah kepada aqidah baru, agama
baru, atau berpindah kepada kepercayaan non-agama (Animisme/paganisme). Dia
berhak pula melakukan semua itu sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan atau
paksaan. Jadi, seorang muslim, misalnya, berhak berganti agama untuk memeluk
agama Kristen, Yahudi, Budha, atau Komunisme dengan sebebas-bebasnya, tanpa boleh ada larangan
baginya dari negara atau pihak lain untuk mengerjakan semua itu.
Sedangkan
Islam, telah mengharamkan seorang muslim meninggalkan Aqidah Islamiyah atau
murtad untuk memeluk agama Yahudi, Kristen, Budha, komunisme, atau kapitalisme.
Siapa saja yang murtad dari agama Islam maka dia akan diminta bertaubat. Jika
dia kembali kepada Islam, itulah yang diharapkan. Tapi kalau tidak, dia akan
dijatuhi hukuman mati, disita hartanya, dan diceraikan dari isterinya. Rasulullah
SAW:
مَنْ
بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوهُ
"Barang siapa mengganti agamanya
(Islam), maka jatuhkanlah hukuman mati atasnya."
(HR. Muslim, dan Ashhabus Sunan)
Jika
yang murtad adalah sekelompok orang, dan mereka tetap bersikeras untuk murtad,
maka mereka akan diperangi hingga mereka kembali kepada Islam atau dibinasakan.
Hal ini seperti yang pernah terjadi pada orang-orang murtad setelah wafatnya
Rasulullah tatkala Abu Bakar memerangi mereka dengan sengit sampai sebagian
orang yang tidak terbunuh kembali kepada Islam.
***
Adapun
kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi, mempunyai arti bahwa setiap
individu berhak untuk mengembangkan pendapat atau ide apa pun, bagaimana pun
juga pendapat atau ide itu. Dia berhak pula menyatakan atau menyerukan ide atau
pendapat itu dengan sebebas-bebasnya tanpa ada syarat atau batasan apapun,
bagaimana pun juga ide dan pendapatnya itu. Dia berhak pula mengungkapkan ide
atau pendapatnya itu dengan cara apapun, tanpa ada larangan baginya untuk
melakukan semua itu baik dari negara atau pihak lain, selama dia tidak
mengganggu kebebasan orang lain. Maka setiap larangan untuk mengembangkan,
mengungkapkan, dan menyebarluaskan pendapat, akan dianggap sebagai pelanggaran
terhadap kebebasan.
Ketentuan
ajaran Islam dalam masalah ini sangatlah berbeda. Seorang muslim dalam seluruh
perbuatan dan perkataannya wajib terikat dengan apa yang terkandung dalam
nash-nash syara'. Dengan demikian dia tidak boleh melakukan suatu perbuatan
atau mengucapkan suatu perkataan kecuali jika dalil-dalil syar'i telah
membolehkannya.
Atas
dasar itulah, maka seorang muslim berhak mengembangkan, menyatakan, dan
menyerukan pendapat apapun, selama dalil-dalil syar'i telah membolehkannya.
Tapi jika dalil-dalil syar'i telah melarangnya, maka seorang muslim tidak boleh
mengembangkan, menyatakan, atau menyerukan pendapat tersebut. Jika dia tetap
melakukannya, dia akan dikenai sanksi.
Jadi
seorang muslim itu wajib terikat dengan hukum-hukum syara' dalam mengembangkan,
menyatakan, dan menyerukan suatu pendapat. Dia tidak bebas untuk melakukan
semaunya.
Islam
sendiri telah mewajibkan seorang muslim untuk mengucapkan kebenaran di setiap
waktu dan tempat. Dalam hadits Ubadah bin Ash Shamit ra, disebutkan :
...وَ أَنْ نَقُولَ بِالحَقِّ حَيْثُمَا
كُنَّا ، لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ
"...dan kami akan mengatakan
kebenaran di mana pun kami berada. Kami tidak takut karena Allah terhadap
celaan orang yang mencela."
Demikian
pula Islam telah mewajibkan kaum muslimin untuk menyampaikan pendapat kepada
penguasa dan mengawasi serta mengoreksi tindakan mereka. Diriwayatkan dari Ummu
'Athiyah dari Abu Sa'id ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
أَفْضَلُ
الجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
"Jihad paling utama adalah
(menyampaikan) perkataan yang haq kepada penguasa yang zhalim."
Dirawayatkan
pula dari Abu Umamah ra bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya oleh seseorang pada
saat melempar jumrah aqabah, "Jihad apa yang paling utama, wahai
Rasulullah ? Maka Rasulullah SAW menjawab :
كَلِمَةُ
حَقٍّ تُقَالُ عِنْدَ ذِي سُلْطَانٍ
جَائِرٍ
"Yaitu menyampaikan perkataan yang
haq kepada penguasa yang zhalim."
Rasululah
SAW pernah bersabda pula :
سَيِّدُ
الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ وَ رَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَنَصَحَهُ
فَقَتَلَهُ
"Pemimpin para syuhada adalah Hamzah
dan seseorang yang berdiri di hadapan Imam yang zhalim, kemudian dia menasehati
Imam itu, lalu Imam itu membunuhnya."
Tindakan
yng demikian ini bukanlah suatu kebe-basan berpendapat, melainkan keterikatan
dengan hukum-hukum syara', yakni kebolehan menyampaikan pendapat dalam satu
keadaan, dan kewajiban menyampaikan pendapat dalam keadaan lain.
***
Adapun
kebebasan kepemilikan —yang telah melahirkan sistem ekonomi kapitalisme, yang
selanjutnya melahirkan ide penjajahan terhadap bangsa-bangsa di dunia serta
perampokan kekayaan alamnya— mempunyai arti bahwa seseorang boleh memiliki
harta (modal), dan boleh mengembangkannya dengan sarana dan cara apapun.
Seorang penguasa dianggap berhak memiliki harta dan mengembangkannya melalui
imperialisme, peram-pasan dan pencurian harta kekayaan alam dari bangsa-bangsa
yang dijajah. Seseorang dianggap pula berhak memiliki dan mengembangkan harta
melalui penimbunan dan mudlarabah (usaha-usaha komanditen/trustee)
mengambil riba, menyembunyikan cacat barang dagangan, berlaku curang dan
menipu, menetapkan harga tinggi secara tidak wajar, mencari uang dengan judi,
zina, homoseksual, mengeksploitir tubuh wanita, memproduksi dan menjual khamr,
menyuap, dan atau menempuh cara-cara lainnya.
Sedangkan
ajaran Islam, sangat bertolak belakang dengan ide kebebasan kepemilikan harta
tersebut. Islam telah memerangi ide penjajahan bangsa-bangsa serta ide
perampokan dan penguasaan kekayaan alam bangsa-bangsa di dunia. Islam juga
menentang praktik riba baik yang berlipat ganda maupun yang sedikit. Seluruh
macam riba dilarang. Di samping itu Islam telah menetapkan adanya sebab-sebab
kepemilikan harta, sebab-sebab pengembangannya, dan cara-cara pengelolaannya.
Islam mengharamkan ketentuan di luar itu semua. Islam mewajibkan seorang muslim
untuk terikat dengan hukum-hukum syara' dalam usahanya untuk memiliki,
mengem-bangkan, dan mengelola harta. Islam tidak memberikan kebebasan kepadanya
untuk mengelola harta sekehendak-nya, tetapi Islam telah mengikatnya dengan
hukum-hukum syara', dan mengharamkannya untuk memiliki dan mengembangkan harta
secara batil. Misalnya dengan cara merampas, merampok, mencuri, menyuap,
mengambil riba, berjudi, berzina, berhomoseksual, menutup-nutupi kecacatan
barang dagangan, berlaku curang dan menipu, menetapkan harga tinggi dengan
tidak wajar, memproduksi dan menjual khamr, mengeksploitir tubuh wanita, dan
cara-cara lain yang telah diharamkan sebagai jalan untuk memiliki dan
mengembangkan harta.
Semua
itu merupakan sebab-sebab pemilikan dan pengembangan harta yang dilarang Islam.
Dan setiap harta yang diperoleh melalui jalan-jalan itu, berarti haram dan
tidak boleh dimiliki. Pelakunya akan dijatuhi sanksi.
Dengan
demikian jelaslah bahwa kebebasan kepemilikan harta itu tidak ada dalam ajaran
Islam. Bahkan sebaliknya, Islam mewajibkan setiap muslim untuk terikat dengan
hukum-hukum syara' dalam hal kepemilikan, pengembangan, dan pengelolaan harta.
Dia tidak boleh melanggar hukum-hukum itu.
***
Mengenai
kebebasan bertingkah laku, artinya adalah kebebasan untuk lepas dari segala
macam ikatan dan kebebasan untuk melepaskan diri dari setiap nilai kerohanian,
akhlak, dan kemanusiaan. Juga berarti kebebasan untuk memporak-porandakan
keluarga dan untuk membubarkan atau melestarikan institusi keluarga. Kebebasan
ini merupakan jenis kebebasan yang telah menimbulkan segala kebinasaan dan
membolehkan segala sesuatu yang telah diharamkan.
Kebebasan
inilah yang telah menjerumuskan
masyarakat Barat menjadi masyarakat binatang yang sangat memalukan dan
membejatkan moral individu-individunya sampai ke derajat yang lebih hina
daripada binatang ternak.
Kebebasan
ini menetapkan bahwa setiap orang dalam perilaku dan kehidupan pribadinya
berhak untuk berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya, sebebas-bebasnya,
tanpa boleh ada larangan baik dari negara atau pihak lain terhadap perilaku
yang disukainya. Ide kebebasan ini telah membolehkan seseorang untuk melakukan
perzinaan, homoseksual, lesbianisme, meminum khamr, bertelanjang, dan melakukan
perbuatan apa saja —walaupun sangat hina— dengan
sebebas-bebasnya tanpa ada ikatan atau batasan, tanpa tekanan atau paksaan.
Hukum-hukum
Islam sangat bertentangan dengan kebebasan bertingkah laku tersebut. Tidak ada
kebebasan bertingkah laku dalam Islam. Seorang muslim wajib terikat dengan
perintah dan larangan Allah dalam seluruh perbuatan dan tingkah lakunya. Haram
baginya melakukan perbuatan yang diharamkan Allah. Jika dia mengerjakan suatu
perbuatan yang diharamkan, berarti dia telah berdosa dan akan dijatuhi hukuman
yang sangat keras.
Islam
telah mengharamkan perzinaan, homoseksual, lesbianisme, minuman keras,
ketelanjangan, dan hal-hal lain yang merusak. Untuk masing-masing perbuatan itu
Islam telah menetapkan sanksi tegas yang dapat membuat jera pelakunya.
Islam
memerintahkan muslim berakhlaq mulia dan terpuji, juga menjadikan masyarakat
Islam sebagai masya-rakat yang bersih dan sangat memelihara kehormatannya serta
penuh dengan nilai-nilai yang mulia.
***
Dari
seluruh penjelasan di atas, nampak dengan sangat jelas bahwa peradaban Barat, nilai-nilai Barat,
pandangan hidup Barat, demokrasi Barat, dan kebebasan individu, seluruhnya
bertentangan secara total dengan hukum-hukum Islam.
Seluruhnya
merupakan ide-ide, peradaban, peraturan, dan undang-undang kufur. Oleh
karenanya adalah suatu kebodohan dan upaya penyesatan kalau ada yang mengatakan
demokrasi itu adalah bagian dari ajaran Islam. Juga suatu kebodohan dan
penyesatan kalau dikatakan demokrasi itu identik dengan sistem syura
(permusyawaratan) itu sendiri, atau identik dengan amar ma'ruf nahi munkar, dan
atau mengoreksi tingkah laku penguasa.
Syura,
amar ma'ruf nahi munkar, dan mengoreksi penguasa, adalah hukum-hukum syara',
yang telah ditetapkan Allah SWT. Kaum muslimin telah diperintahkan untuk
mengambil dan melaksanakannya dengan anggapan bahwa semua itu adalah
hukum-hukum syara'.
Sedangkan
demokrasi bukanlah hukum-hukum syara' dan tidak berasal dari peraturan Allah.
Demokrasi adalah buatan manusia dan peraturan buatan manusia.
Demokrasi
bukan syura, karena syura artinya adalah memberikan pendapat. Sedangkan
demokrasi, sebenarnya merupakan suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan
untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan peraturan, yang telah dibuat oleh
manusia menurut akal mereka sendiri. Mereka menetapkan ketentuan-ketentuan itu
berdasarkan kemaslahatan yang dipertimbangkan menurut akal, bukan menurut wahyu
dari langit.
Maka
dari itu, kaum muslimin haram mengambil dan menyebarluaskan demokrasi serta
mendirikan partai-partai politik yang berasaskan demokrasi. Haram pula bagi
mereka menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup dan menerapkannya; atau
menjadikannya sebagai asas bagi konstitusi dan undang-undang atau sebagai
sumber bagi konstitusi dan undang-undang; atau sebagai asas bagi sistem pendidikan
dan penentuan tujuannya.
Kaum
muslim wajib membuang demokrasi sejauh-jauhnya karena demokrasi adalah najis
dan merupakan hukum thaghut.
Demokrasi
adalah sistem kufur, yang mengandung berbagai ide, peraturan, dan undang-undang
kufur. Demokrasi tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali.
Demikian
pula kaum muslimin wajib menerapkan dan melaksanakan seluruh ajaran Islam dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الهُدَى وَ يَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيْلِ المُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلِّى وَ نُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَ سَاءَتْ
مَصِيْرًا
"Dan siapa saja yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mu'min, Kami biarkan mereka berkuasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An Nisaa' : 115)
Telah selesai dengan pertolongan dan
karunia Allah SWT, pada hari Ahad tanggal 3 Dzulqa'dah 1410 H, bertepatan
dengan tanggal 17 Mei 1990 M.