“ Hanya Ada Ayah dan Ulya”
Karya; Arini
Arief
“Embe...embe…embe...he..he...”
Embikan kambing dibelakang rumah, tiba- tiba membuyarkan konsentrasi Ulya yang
tengah asyik membaca sebuah puisi karya D Zawawi Imron yang ia pegang, sambil
duduk dipinggir jendela yang sengaja ia buka lebar- lebar. Ibu..!Judul puisi
itu. Dan banyak lagi puisi berjudul “ IBU” yang ia koleksi dan dihapalnya diluar kepala. Puisi
yang amat membekas dihati Ulya. Puisi yang dibawa Ulya kemanapun ia pergi.
Puisi yang dibaca Ulya ketika rindu kepada sosok ibunya.
Itulah Ulya, seorang gadis yang
beranjak dewasa, senang dan hobi membaca
puisi tatkala ia sedang sedih, gundah, lara, kesepian. Kadang ia mengeluarkan air mata saat membacakan puisi, saking
dalamnya cinta, penghayatan dan kepekaan hati seorang Ulya terhadap puisi.
Karena Ulya adalah gadis yang lemah lembut namun tegar, selalu tersenyum,
anggun pula perangainya. Orang takkan bosan menatap wajahnya.
Pagi ini, Ulya menghabiskan waktunya
dikamar saja. Duduk menekuk lututnya di jendela kamarnya. Jendela yang jaraknya
cukup dekat dimana kambing itu berada, kambing yang telah merusak
konsentrasinya. Setiap matahari terbit, ketika Ulya membuka jendelanya selalu
disuguhi pemandangan indah mahakarya Tuhan. Ada sawah, bukit, kebun karet,
sungai, ternak dan para petani yang siap bekerja seharian diladang- ladang
mereka. Perpaduan yang indah dimata bening Ulya.
***
“Ya’… Aya..” Suara itu, suara yang
memanggil Ulya. Ayahnya sedang memanggil sembari mengetuk- ngetuk pintu
kamarnya dengan pelan.
“Sarapan dulu, Nak” ucap ayahnya sekali
lagi.
“Iya Ayah, sebentar lagi…” Ulya pun
segera melompat dari jendela, meletakkan buku kumpulan puisi pemberian ayahnya setahun
yang lalu, dihari ulang tahunnya. Kerena, orang yang paling mengerti Ulya
adalah Ayahnya seorang. Ayahnya tahu Ulya senang dengan puisi, senang mencipta
dan membacakan puisi. Ayah adalah juri setia
disaat Ulya membacakan puisi- puisinya.
Pria yang tak lagi muda ini, sangat
mencintai anugrah Tuhan yang diberikan untukknya, Ulya. Seorang anak perempuan
yang lahir dari rahim wanita yang amat ia cintai. Ulya 17 tahun silam, adalah
seorang bayi mungil tanpa kehadiran seorang ibu disisinya. Menyusui dan
membelai rambutnya yang subur dan menyentuh kulitnya yang lembut, putih bersih bak
mutiara. Ibu yang hamil tua mengandungnya selama hampir sepuluh bulan telah
menghembuskan nafas terakhir saat Ulya terlahirkan ke dunia ini. Ibunya
mengalami pendarahan hebat dan tak tertolong lagi. Bidan yang tak lain adalah
tetangganya sendiri tak tahu harus berbuat apalagi, sang bidan bercucuran
keringat, tak berkedip sekali pun saat proses persalinan, ia takut terjadi
kesalahan sedikitpun. Akan tetapi, semua sudah menjadi kehendak Tuhan. Semua adalah
takdir, takdir yang tak terlolak, takdir yang mengharuskan Ulya berpisah dengan
ibunya untuk selamanya.
Ayah Ulya, lelaki yang sangat baik dan
sabar telah merawat dan membesarkan Ulya seorang diri. Walaupun ia mengalami
banyak kerepotan bahkan lelah, tapi ia bahagia. Bagaimana seandainya Ulya ikut
bersama ibunya, tentu ia akan seorang diri. Ia bahagia karena masih ada Ulya
disisinya, Ulya akan menjadi pelipur laranya. Tujuh belas tahun sudah, ia
melihat banyak kemiripan antara Ulya dengan ibunya, sangat mirip malah, dan itulah
yang membuatnya semakin sayang dengan anak semata wayangnya. Salah satu
kemiripan antara Ulya dengan ibunya adalah mereka sama- sama menyukai puisi,
membaca dan mencipta sajak- sajak indah yang sering ia dengarkan dari bibir
merah istrinya. Tapi, ayah Ulya tak pernah menceritakan hal tersebut kepada
Ulya. Dan sama sekali tak ingin menceritakannya. Walaupun beberapa kali Ulya
meminta untuk diceritakan tentang sosok ibunya, apa yang disukai dan tidak
disukai oleh ibunya. Semua itu seringkali ditanyakan Ulya. Disaat Ulya berumur
lima tahun, hampir setiap hari Ulya menanyakan Ibunya. Dimana ibunya. Siapa
ibunya. Apakah ibunya baik, cerdas dan cantik seperti bidadari di surga? Dan banyak
lagi serentetan pertanyaan yang Ulya lontarkan kepada sang ayah semasa ia kanak-
kanak. Dengan lugu, polos dan gaya cedelnya yang khas. Ulya hanya dapat menatap
dan mencium wajah ibunya dikertas foto, yang sengaja ia selipkan didalam buku
kumpulan puisinya agar ia dapat menatap wajah ibunya dimana pun dan kapan pun.
Pria yang mulai beruban ini tak ingin
membenarkan mitos yang berbunyi seperti ini, jika anak mirip ibu atau ayahnya
maka sang ibu atau ayah akan meninggal. Mitos ini sudah melekat kuat ditanah
kelahirannya. Mungkin jika diadakan survey, mitos ini akan menjadi sebuah
pembenaran karena hampir seluruh penghuni di kampung halamannya percaya akan
hal ini. Ayah Ulya sama sekali tak mempercayainya. Pasalnya, pria yang taat
beribadah ini hanya percaya kepada kehendak Tuhan. Dia hanya percaya kepada Allah
semata, karena Allah- lah yang paling berwenang atas nyawa perempuan yang amat
disayangnya itu, jika hidup maka itu adalah kebahagiaan dan jika mati maka itu
juga adalah sebuah kebahagiaan. Istrinya baik dan taat kepadanya dan tentunya
kepada Allah. Ia merasa Tuhan amat sayang kepada isrtinya itu, makanya Tuhan
memanggilnya lebih dulu. Itulah yang diyakini ayah Ulya selama bertahun- tahun.
Tapi kini Ulya telah beranjak dewasa.
Usianya sudah menginjak 17, berarti Ulya semakin matang dan siap untuk
mendengarkan segalanya. Apakah ayahnya masih enggan untuk menceritakan
segalanya? Yang ia lihat Ulya adalah anak yang baik dan penurut, ia merasa Ulya
akan paham. Tapi, ia tak ingin mengungkit- ungkit masa lalu. Masa lalu yang
menyedihkan itu, ketika ia mencintai seorang gadis yang tak disukai oleh kedua
orangtuanya. Ketika ia diusir karena nekat meminang seorang gadis miskin yang
tak jelas siapa keluarganya. Sedangkan ia adalah keturunan “ Andi” atau “
Karaeng”1). Karena, ibu Ulya adalah seorang santriwati, biasa dan
yatim piatu yang mondok di pesantren, diasuh dan dibesarkan di pesantren nan
jauh di pelosok desa.
Pertemuannya dengan gadis berkerudung
itu bermula, ketika pemuda ini mengalami kecelakaan hebat tepat didepan
pesantren. Sebelum benar- benar tak sadarkan diri, ia sempat melihat sosok
wanita yang bercahaya bak bidadari. Ia merasa dirinya tengah berada di dunia
lain. Mungkinkah ini kehidupan akhirat? Tanyanya dalam hati. Kemudian ia pun
tak sadarkan diri.
Sang pemuda
telah siuman, ia meraskan sakit disekujur tubuhnya, terutama dibagian kepala. Ia
lalu memegang kepalanya yang telah dibungkus dengan perban berwarna coklat. Ia mendapati
dirinya telah terbaring di ruang ICU rumah sakit. Ia berusaha mengeluarkan
kata- kata dari mulutnya namun tak sanggup. Sebenarnya ia ingin bertanya kepada
seorang suster yang berada tepat disampingnya. Kenapa ia berada ditempat ini?
Siapa yang membawanya? Iya pun menuliskannya pada secarik kertas yang telah
disediakan diatas meja persegi disamping kanannya.
“Tadi, ada beberapa orang yang
mengantarkanmu kerumah sakit, dan mereka telah pergi. Pihak rumah sakit telah
menghubungi keluargamu, katanya sebentar lagi mereka akan tiba” Terang suster
yang sedang menyuntikkan cairan kedalam infus yang tergantung pada sebuah tiang
besi bercat putih disampingnya.
***
Seminggu berlalu, setelah kecelakaan
itu. Didekat jendela, pemuda itu menopang dagunya, seakan sedang menikmati
keramaian dibawah sana. Lalu lalang para suster di koridor rumah sakit. Pasien
dengan kursi rodanya, dokter dengan perkakasnya, dan para penjenguk pasien
rumah sakit dengan aneka bawaan ditangannya.
“Tok…tok…tok..,Assalamu’alikum?” terdengar suara dari balik pintu.
“Waalaikum
salam… masuk!” Jawab sang pemuda sambil mempersilahkan orang yang tak ia
tahu siapa. Tiba- tiba dari balik pintu itu, muncullah dua gadis berkerudung
biru langit, yang satunya memegang keranjang dengan susunan buah didalamnya ada
jeruk, apel, anggur serta pir. Dan yang satunya lagi membawa sebuah tas ransel berwarna
hitam. Tas pemuda itu. Tas yang terlempar saat kecelakaan itu terjadi. Wanita
yang tengah memegang tas ranselnya, tepat disampingnya adalah wanita yang ia
lihat terakhir kali dimana kejadian itu terjadi. Saat itulah ia merasakan
sesuatu yang berbeda dalam hidupnya. Ia telah jatuh cinta. Cinta pada pandangan
pertama.
Sebulan di rumah sakit. Akhirnya sang pemuda
beraktivitas seperti sediakala. Kuliah, kerja tugas dan lain sebagainya. Pemuda
tersebut masih terdaftar sebagai mahasiswa semester tiga. Dan gadis yang ia
cintai itu masih sederajat SMA di pesantren. Si pemuda benar- benar jatuh hati.
Perempuan itu seringkali hadir dalam mimpinya. Ia semakin yakin. Yakin bahwa
santriwati itu adalah belahan jiwanya. Saat di rumah sakit, ia bertanya banyak,
ia melontarkan pertanyaan demi pertanyaan. Siapakah nama ade’? dimanaki’ tinggal? Dan banyak lagi yang
ditanyakan pemuda itu.
Saat semester lima, ia pun berusaha
meyakinkan kedua orang tuanya. Meminta agar kedua orang tuanya berkenan untuk
melamar gadis itu untuknya. Tapi, sayang beribu sayang. Mungkin ini adalah
bentuk kasih sayang ayah dan ibunya. Pasti menginginkan yang terbaik untuknya.
Dianalogikan bahwa sejatinya keturunan darah biru harus menikah dengan orang
yang terpandang alias orang kaya raya. Mungkin menjadi impian kedua orang
tuanya. Tapi, apa boleh buat, jika anak sedang jatuh cinta, apapun bisa
dihadangnya. Meski harus menentang keinginan kedua orang tuanya. Saat itulah ia
tak lagi mengijakkan kaki di istananya yang megah. Ia telah pergi meninggalkan
kedua orang tuanya. Ia telah meminang gadisnya. Dan anehnya sang gadis langsung
menerima lamarannya dan mereka pun menikah di pesantren, disaksikan oleh para
penghuni pesantren.
***
Diatas meja
makan telah tersedia nasi campur, susu coklat buatan sang Ayah. Aromanya
menyeruak keseluruh ruangan. Wanginya bawang goreng merasuk kerongga- rongga
hidung Ulya.
“Ayah… sebelumnya Ulya ingin minta maaf”
Ulya membuka pembicaraan. Mereka saling berhadapan dan bertatapan. Kemudian Ulya
menunduk.
“Ada apa, Nak? Kenapa harus minta maaf…”
Jawab Ayah sambil menuangkan air kedalam gelas Ulya.
“Ayah… sebulan yang lalu aku mengeledahi
lemari Ayah, dan kutemukan sebuah kotak yang isinya telah menjawab semua
pertanyaan Ulya selama ini, sebuah diari kecil, surat dan selembaran-
selembaran kertas berisikan puisi, Ayah… mohon maafkan Ulya” terang Ulya sambil
meneteskan air mata penyesalan karena telah lancang menggeledah kamar sang
Ayah. Namun, pria itu tersenyum tanpa marah sedikit pun. Karena ia tahu, tak
ada yang mesti disesalkan, yang berlalu biarlah berlalu.
“Anakku, Ayah tak punya hak untuk marah
kepadamu”. Memeluk tubuh anaknya dan membelai rambutnya yang hitam legam.
“Ayah, hanya tak ingin mengingat masa
lalu Ayah, karena semua itu terasa indah namun singkat, ayah masih ingin
bersama dengan ibumu, ayah masih ingin mencintainya, mengarungi bahtera rumah
tangga dengannya, merawat dan membesarkanmu bersama” Ucap, sang ayah sambil
meneteskan air mata. Tak tahan lagi menahan pilu dihatinya.
“Aku menyayangimu Ayah, layaknya menyayangi
seorang Ibu yang merawatku”
***
Catatan kaki:
1)
“Karaeng
atau Andi”= Darah Biru, gelar
bangsawan ditanah bugis, Makassar.
Bumi Allah, 1
Muharram 1432 H