Senin, 21 Februari 2011

CERPEN PERSAHABATAN

Eda My Friend , Where Are You?

Aku dan sahabatku seperti medan magnet, saling tarik- menarik. Memiliki keterikatan. Dan penuh daya tarik yang menarik.

Seperti surat dan prangko. Saling mengerti dan melengkapi. Selalu bersama. Saling tolong- menolong dalam hal kebaikan, of course..! ah… kurasa terlalu aneh…

Sahabatku tak pernah memberikan wajah sinis, cemberut. Tak pernah marah dihadapanku. Ia sangat menjaga perasaanku. Di saat sedihku ia selalu berusaha untuk menjadi penghiburku dengan canda dan tawanya yang khas. Dengan teka- teki dan aneka pantun yang sering ia lontarkan.

Sahabatku, seperti pelangi dimataku. Ia memberi warna dalam hidupku. Memberikan semangat motivasi dan kasih sayang. Membuatku paham akan arti sebuah persahabatan.

Sahabatku bagai bintang di galaksi. Berkerlap- kerlip dengan cahayanya. Ia selalu bangga dengan kelebihan yang dimilikinya. Dan tak pernah berkeluh kesah dengan kekurangannya. Dan tak pernah kulihat ia redup.

Sahabatku seperti seorang uztadzah. Ia senang menceramahiku tatkala aku lalai. Ia membisikkan firman- firman Allah ditelingaku. Ia selalu mengajakku untuk selalu dekat dengan sang Khalik. Dan bersamanya hatiku pun menjadi tentram. Dia lah sehabat kupandang bak malaikat di bumi ini.

Lantas apa yang kuperbuat untuk sahabatku? Apakah ia tahu bahwa sebenarnya aku juga sayang kepadanya? Apakah sahabatku tahu bahwa aku tak ingin berpisah jauh dengannya? Dan aku sangat merindukannya? Dimanakah ia kini? Bagaimana kah kabarnya saat ini?

Dalam sebuah milis di e-book kutemukan sepenggal puisi yang ingin kupersembahkan untuk sahabatku… karena aku merindukan sosok sahabatku itu.

Ada kalanya kau dan aku merasa jauh

Jauh sekali, karena dipisahkan oleh jarak dan waktu

Bahkan ketika hati terusik untuk bertemu

Seolah mendekap rindu dalam bayang semu

Dan,

Adakalanya kau dan aku merasa dekat

Dekat sekali… bahkan lebih dekat dari apa yang kita rasakan

Apa yang kita harapkan..

Dalam setiap bentang sepanjang kenangan

Saat ini . Saat itu

Dan saat yang akan datang

Wahai sahabatku

Memang aku belum mengenalmu secara mendalam

Bahkan kornea mataku yang katanya tembus pandang

Tak bisa melihat dinding- dinding tebal yang tegak menghadang…

***

Namanya Nuraedah. Sebut saja ia Eda. Kami berteman semenjak duduk dibangku kelas empat es-de. Senyumnya, tawanya yang khas. Aku masih tak dapat melupakannya hingga saat ini. Saat usiaku semakin bertambah. Menginjak angka 19 tahun. Dan kesempatan hidup pun semakin berkurang. Dan masih adakah kesempatan untukku untuk berjumpa dengannya lagi?

Eda sahabatku. Dia cerdas, baik dan ceria. Sosok bocah yang kukenal ramah tamah dan pemikirannya lebih dewasa dibandingkan dengan anak- anak seusianya. Termasuk aku. Aku yang ceroboh dan kekanak- kanakan. Suka usil dan melakukan hal- hal bodoh. Sungguh sifatku jauh berbeda dengan Eda.

***

Bermula saat pertumpahan darah di Poso. Aku telah lupa tepatnya tahun berapa peristiwa mengerikan itu terjadi. Perang saudara ataukah perang agama? entahlah.. aku benar- benar lupa apa sebab yang mengakibatkan pertumpahan darah itu terjadi. Yang mengharuskan Eda dan penduduk sipil lainnya harus berlari dan berlari sejauh mungkin untuk meninggalkan kota itu demi menyelamatkan diri dari ancaman kematian yang tak pernah diharapkannya. Kematian yang tak wajar yang mungkin saja akan berakhir dengan mutilasi menjijikkan seperti yang terekam kamera dan mewabah di media. Mereka berlari menulusuri hutan, melewati pesisir pantai nan luas. Daratan tandus lagi panas. Mendaki bukit- bukit, menyeberangi sungai, lembah selama berminggu- minggu untuk tiba di Sulawesi Selatan tepatnya di kota Bulukumba.

Yah… Eda dan keluarganya transit di kabupaten Bulukumba. Kota dimana aku tinggal. Aku tak tahu alasan pasti kenapa mereka memilih kota Bulukumba sebagai tempat untuk menyelamatkan diri dari peristiwa pembantaian yang kuanggap tak berprikemanusiaan itu. Yang kuingat. Saat aku mulai mengenal Eda. Ia hanya berkata; untunglah kami masih punya sanak saudara di sini. Mungkin itu jualah yang menjadi alasannya. Eda dengan semangat membara menceritakan ritme setiap peristiwa yang ia alami dan keluarganya saat kerusuhan di Poso beberapa tahun silam.

***

Eda pertama kali aku melihatnya diruang kelas saat ia memperkenalkan diri. Tatapan matanya yang tajam menjadikan aku agak ngeri untuk menatapnya. Awalnya kukira ia angkuh dan menjengkelkan. Ia Nampak berbeda dengan teman- teman sekelasku. Mata sipit. Rambut panjang dikepang. Berbadan pendek dan gendut.

Oh iya… bukan hanya Eda yang menjadi murid baru saat itu. Ada Naimah dan Nadera. Mereka berdua saudara kembar. Dengan nasib yang sama seperti Eda. Saat itu aku memiliki tiga teman baru sekaligus.

Beberapa minggu kemudian Eda menunjukkan bakatnya. Eda anak yang sangat cerdas. Kurasa otaknya benar- benar encer. Awalnya aku cemburu dan jengkel kepadanya. Seakan- akan mencari perhatian para guru di sekolah. Saat ujian semester ia mendapatkan nilai tertinggi. Aku benar- benar iri saat itu. Ingin rasanya kujadikan musuhku saja. Namun aku sungguh tak sanggup. Apa kira- kira yang akan kujadikan alasan untuk menjadikannya sebagai seorang musuh. Padahal ia anak yang cerdas dan lumayan baik. Kurasa lebih pantas untuk dijadikan teman. Kucoba mengalah pada keadaan saat itu. Bukankah seharusnya kujadikan motivasi untuk belajar lebih giat.

Satu tahun bersama Eda. Kami pun akhirnya akrab. Aku memutuskan untuk lebih akrab dengannya. Bersama Eda aku baru merasakan bagaimana rasanya memiliki seorang teman. Benar- benar seorang teman. Mungkin dialah sahabat sejatiku. Sedari kecil yang kurasakan adalah bagaimana rasanya memiliki teman. Hanya sebatas teman. Tak ada yang ku cap pasti sebagai sahabatku. Namun Eda benar- benar beda. Dia sahabatku dan semua terjadi diluar dugaanku.

Suatu waktu. Saat kami bermain di ruang kelas. Saling kejar- kejaran. Aku berperan sebagai seorang drakula yang haus darah saat itu. Dengan sengaja aku menggigit lengan Eda sampai kebiru- biruan. Kebiruan berarti ada darah yang mengendap dibalik kulitnya yang sawo matang. Sama sekali Eda tak menangis apalagi marah padaku. Ia hanya menjerit kesakitan. Itu pun hanya sekilas.

Keesokan harinya Eda absen. Terkirim surat untuk Bu guru yang mengisi pelajaran diruang kelas saat itu. Terkabar bahwa Eda sedang sakit. Aku mulai cemas dan tiba- tiba diselimuti rasa takut. Aku merasa akulah menjadi penyebab mengapa Eda sampai tidak hadir. Eda sakit karena aku menggigit lengannya sampai lebam.

Saat itu. Hari itu. Aku benar- benar wajib menjenguk Eda. Aku harus minta maaf atas tingkahku yang sangat keterlaluan. Bermain seakan permainan itu adalah nyata dan aku benar- benar menjadi seorang drakula yang membuat temanku ngeri melihatku dengan jubah yang sengaja kubawah dari rumah. Dengan bedak putih yang sengaja kudampulkan kewajahku. Dan lipstik ibuku yang sengaja kuambil secara diam- diam. Yang kemudian kuoleskan kewajahku seakan- akan itu adalah darah sungguhan. Dan jadilah aku seperti drakula sungguhan yang siap menyedot habis darah mangsanya. Dengan mengikuti gaya drakula ala film barat yang biasa ditayangkan dilayar te-ve. Sungguh, kepolosan seorang bocah menjadi korban cerita rekaan belaka. Malu jika melihat diriku dimasa yang telah lalu. Masa- masa dimana waktu lebih banyak kuhabiskan untuk bermain.

Sepulang sekolah aku, Tia, Nadera dan Naimah segera menuju rumah Eda yang jarakanya sangat jauh dari sekolah. Eda tinggal ditengah hutan. What? Untuk tiba dirumahnya aku harus menyebrangi sungai, melewati sawah dan kebun- kebun. Dibenakku, Eda benar- benar seorang bocah yang hebat. Dia harus melewati semua itu untuk tiba disekolah tepat pada waktunya? Everyday? Is amazing…

Dimataku Eda benar- benar berbeda. Terasa benar kehidupannya begitu dekat dengan alam. Mandi di sungai. Mencuci piring dan pakaian di sungai. Hingga buang hajat pun di sungai. Aku jadi geli membayangkannya. Padahal kita telah memasuki era modern dan semua menjadi serba canggih. Yang berarti kehidupan primitif mulai terseleksi sedikit demi sedikit.

Setibaku di rumah Eda. Dan sebenarnya rumah itu lebih layak dikatakan sebuah gubuk. Rumahnya beralaskan tanah dan dilapisi dengan tikar daun lontar. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan atapnya dari daun nipah yang telah mengering. Pohon sukun, kelapa, pisang, mangga seperti raksasa yang berjejer dihalaman rumahnya. Dibelakang rumah terdapat sebuah kandang ternak. Ada ayam, itik dan juga dua ekor kambing. Ditempat yang amat jauh dari keramaian itu ternyata ada sebuah kehidupan yang baru terjamah olehku. Ada sebuah keluarga yang berdiam. Ayah, Ibu, seorang kakak perempuan, dan adik lelaki Eda. Komplit sudah. Sungguh sebuah kehidupan yang jarang aku temui. layaknya kehidupan dalam dongeng sebelum tidur yang sering diceritakan ayahku.

Sahabatku Eda kehidupannya sungguh jauh berbeda denganku. Penampilannya yang sederhana namun otaknya cerdas. Kehidupannya benar- benar sederhana. Sedangkan aku? Terlahir sebagai anak dari orang berada namun selalu saja mengeluh dan merasa kurang dengan apa yang kumiliki. Kasur yang empuk. Eda? Dia hanya tidur diatas tikar. Untuk belajar pun Eda harus membungkuk karena tak punya meja belajar. Sedangkan aku? Aku hanya membiarkan meja belajarku diselimuti oleh debu. Dan Eda begitu gila baca. Hampir setiap hari ia berkunjung ke perpustakaan sekolah. Seakan- akan ingin melahap setiap buku yang tersusun tak beraturan lagi di rak. Sedangkan aku. Memiliki perpustakaan pribadi namun sangat jarang aku berdiam didalamnya. Apalagi sekedar untuk menyapa dan membaca buku. Padahal aku bercita- cita ingin menjadi seorang penulis.

Eda pernah berkata, “Kemampuan menulis itu berbanding lurus dengan ketekunan kita membaca”. So, berarti saya harus banyak baca untuk menjadi seorang penulis terkenal. “Ya..iyalah…” Ucap Eda saat itu, sambil tertawa dengan tawanya yang khas.

***

Hampir sembilan tahun aku tak melihat Eda. Dimanakah ia saat ini? Tak pernah kudengar lagi suaranya. Tak pernah lagi ia berpuisi untukku. Terakhir kudapatkan kabar tentangnya dari Nadera. Katanya, ia tetap melanjutkan sekolahnya. Dia beserta keluarganya kembali ke Poso saat aku melanjutkan pendidikanku di luar kota delapan tahun yang lalu.

Yang kusesalkan adalah aku tak mengucapkan salam perpisahan padanya. Aku tak mengunjunginya didetik terakhir kepergiannya. Oh sahabatku, ku hanya bisa tuliskan puisi untukmu[]

Sahabat kecilku…

Sahabat yang tak pernah kudapatkan lagi sepertimu

Sahabat yang menambah nuansa bening direlung- relung hatiku yang dulu beku

Tapi, dimanakah kau kini?

Masihkah kau ingat

Saat aku berlaku usil terhadapmu?

Saat engkau mengeluarkan air mata karenaku

Dan aku sesali…

Kepergianmu tanpa menoleh kepadaku

Aku sesali…

Tak membisikkan salam kehangatan untukmu

Sahabat kecilku…

Aku rindu…Aku rindu yang teramat sangat…

Kuingin mendekapmu dengan penuh kehangatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar