Jumat, 03 Agustus 2012

Hanya Ayah & Ulya


“ Hanya Ada Ayah dan Ulya”

Karya; Arini Arief
      “Embe...embe…embe...he..he...” Embikan kambing dibelakang rumah, tiba- tiba membuyarkan konsentrasi Ulya yang tengah asyik membaca sebuah puisi karya D Zawawi Imron yang ia pegang, sambil duduk dipinggir jendela yang sengaja ia buka lebar- lebar. Ibu..!Judul puisi itu. Dan banyak lagi puisi berjudul “ IBU”  yang ia koleksi dan dihapalnya diluar kepala. Puisi yang amat membekas dihati Ulya. Puisi yang dibawa Ulya kemanapun ia pergi. Puisi yang dibaca Ulya ketika rindu kepada sosok ibunya.
           Itulah Ulya, seorang gadis yang beranjak  dewasa, senang dan hobi membaca puisi tatkala ia sedang sedih, gundah, lara, kesepian. Kadang ia mengeluarkan  air mata saat membacakan puisi, saking dalamnya cinta, penghayatan dan kepekaan hati seorang Ulya terhadap puisi. Karena Ulya adalah gadis yang lemah lembut namun tegar, selalu tersenyum, anggun pula perangainya. Orang takkan bosan menatap wajahnya.
         Pagi ini, Ulya menghabiskan waktunya dikamar saja. Duduk menekuk lututnya di jendela kamarnya. Jendela yang jaraknya cukup dekat dimana kambing itu berada, kambing yang telah merusak konsentrasinya. Setiap matahari terbit, ketika Ulya membuka jendelanya selalu disuguhi pemandangan indah mahakarya Tuhan. Ada sawah, bukit, kebun karet, sungai, ternak dan para petani yang siap bekerja seharian diladang- ladang mereka. Perpaduan yang indah dimata bening Ulya.
***
     “Ya’… Aya..” Suara itu, suara yang memanggil Ulya. Ayahnya sedang memanggil sembari mengetuk- ngetuk pintu kamarnya dengan pelan.
      “Sarapan dulu, Nak” ucap ayahnya sekali lagi.
      “Iya Ayah, sebentar lagi…” Ulya pun segera melompat dari jendela, meletakkan buku kumpulan puisi pemberian ayahnya setahun yang lalu, dihari ulang tahunnya. Kerena, orang yang paling mengerti Ulya adalah Ayahnya seorang. Ayahnya tahu Ulya senang dengan puisi, senang mencipta dan membacakan puisi.  Ayah adalah juri setia disaat Ulya membacakan puisi- puisinya.
          Pria yang tak lagi muda ini, sangat mencintai anugrah Tuhan yang diberikan untukknya, Ulya. Seorang anak perempuan yang lahir dari rahim wanita yang amat ia cintai. Ulya 17 tahun silam, adalah seorang bayi mungil tanpa kehadiran seorang ibu disisinya. Menyusui dan membelai rambutnya yang subur dan menyentuh kulitnya yang lembut, putih bersih bak mutiara. Ibu yang hamil tua mengandungnya selama hampir sepuluh bulan telah menghembuskan nafas terakhir saat Ulya terlahirkan ke dunia ini. Ibunya mengalami pendarahan hebat dan tak tertolong lagi. Bidan yang tak lain adalah tetangganya sendiri tak tahu harus berbuat apalagi, sang bidan bercucuran keringat, tak berkedip sekali pun saat proses persalinan, ia takut terjadi kesalahan sedikitpun. Akan tetapi, semua sudah menjadi kehendak Tuhan. Semua adalah takdir, takdir yang tak terlolak, takdir yang mengharuskan Ulya berpisah dengan ibunya untuk selamanya.
        Ayah Ulya, lelaki yang sangat baik dan sabar telah merawat dan membesarkan Ulya seorang diri. Walaupun ia mengalami banyak kerepotan bahkan lelah, tapi ia bahagia. Bagaimana seandainya Ulya ikut bersama ibunya, tentu ia akan seorang diri. Ia bahagia karena masih ada Ulya disisinya, Ulya akan menjadi pelipur laranya. Tujuh belas tahun sudah, ia melihat banyak kemiripan antara Ulya dengan ibunya, sangat mirip malah, dan itulah yang membuatnya semakin sayang dengan anak semata wayangnya. Salah satu kemiripan antara Ulya dengan ibunya adalah mereka sama- sama menyukai puisi, membaca dan mencipta sajak- sajak indah yang sering ia dengarkan dari bibir merah istrinya. Tapi, ayah Ulya tak pernah menceritakan hal tersebut kepada Ulya. Dan sama sekali tak ingin menceritakannya. Walaupun beberapa kali Ulya meminta untuk diceritakan tentang sosok ibunya, apa yang disukai dan tidak disukai oleh ibunya. Semua itu seringkali ditanyakan Ulya. Disaat Ulya berumur lima tahun, hampir setiap hari Ulya menanyakan Ibunya. Dimana ibunya. Siapa ibunya. Apakah ibunya baik, cerdas dan cantik seperti bidadari di surga? Dan banyak lagi serentetan pertanyaan yang Ulya lontarkan kepada sang ayah semasa ia kanak- kanak. Dengan lugu, polos dan gaya cedelnya yang khas. Ulya hanya dapat menatap dan mencium wajah ibunya dikertas foto, yang sengaja ia selipkan didalam buku kumpulan puisinya agar ia dapat menatap wajah ibunya dimana pun dan kapan pun.
          Pria yang mulai beruban ini tak ingin membenarkan mitos yang berbunyi seperti ini, jika anak mirip ibu atau ayahnya maka sang ibu atau ayah akan meninggal. Mitos ini sudah melekat kuat ditanah kelahirannya. Mungkin jika diadakan survey, mitos ini akan menjadi sebuah pembenaran karena hampir seluruh penghuni di kampung halamannya percaya akan hal ini. Ayah Ulya sama sekali tak mempercayainya. Pasalnya, pria yang taat beribadah ini hanya percaya kepada kehendak Tuhan. Dia hanya percaya kepada Allah semata, karena Allah- lah yang paling berwenang atas nyawa perempuan yang amat disayangnya itu, jika hidup maka itu adalah kebahagiaan dan jika mati maka itu juga adalah sebuah kebahagiaan. Istrinya baik dan taat kepadanya dan tentunya kepada Allah. Ia merasa Tuhan amat sayang kepada isrtinya itu, makanya Tuhan memanggilnya lebih dulu. Itulah yang diyakini ayah Ulya selama bertahun- tahun.
          Tapi kini Ulya telah beranjak dewasa. Usianya sudah menginjak 17, berarti Ulya semakin matang dan siap untuk mendengarkan segalanya. Apakah ayahnya masih enggan untuk menceritakan segalanya? Yang ia lihat Ulya adalah anak yang baik dan penurut, ia merasa Ulya akan paham. Tapi, ia tak ingin mengungkit- ungkit masa lalu. Masa lalu yang menyedihkan itu, ketika ia mencintai seorang gadis yang tak disukai oleh kedua orangtuanya. Ketika ia diusir karena nekat meminang seorang gadis miskin yang tak jelas siapa keluarganya. Sedangkan ia adalah keturunan “ Andi” atau “ Karaeng”1). Karena, ibu Ulya adalah seorang santriwati, biasa dan yatim piatu yang mondok di pesantren, diasuh dan dibesarkan di pesantren nan jauh di pelosok desa.
         Pertemuannya dengan gadis berkerudung itu bermula, ketika pemuda ini mengalami kecelakaan hebat tepat didepan pesantren. Sebelum benar- benar tak sadarkan diri, ia sempat melihat sosok wanita yang bercahaya bak bidadari. Ia merasa dirinya tengah berada di dunia lain. Mungkinkah ini kehidupan akhirat? Tanyanya dalam hati. Kemudian ia pun tak sadarkan diri.
Sang pemuda telah siuman, ia meraskan sakit disekujur tubuhnya, terutama dibagian kepala. Ia lalu memegang kepalanya yang telah dibungkus dengan perban berwarna coklat. Ia mendapati dirinya telah terbaring di ruang ICU rumah sakit. Ia berusaha mengeluarkan kata- kata dari mulutnya namun tak sanggup. Sebenarnya ia ingin bertanya kepada seorang suster yang berada tepat disampingnya. Kenapa ia berada ditempat ini? Siapa yang membawanya? Iya pun menuliskannya pada secarik kertas yang telah disediakan diatas meja persegi disamping kanannya.
      “Tadi, ada beberapa orang yang mengantarkanmu kerumah sakit, dan mereka telah pergi. Pihak rumah sakit telah menghubungi keluargamu, katanya sebentar lagi mereka akan tiba” Terang suster yang sedang menyuntikkan cairan kedalam infus yang tergantung pada sebuah tiang besi  bercat putih disampingnya.
***

          Seminggu berlalu, setelah kecelakaan itu. Didekat jendela, pemuda itu menopang dagunya, seakan sedang menikmati keramaian dibawah sana. Lalu lalang para suster di koridor rumah sakit. Pasien dengan kursi rodanya, dokter dengan perkakasnya, dan para penjenguk pasien rumah sakit dengan aneka bawaan ditangannya.
     “Tok…tok…tok..,Assalamu’alikum?” terdengar suara dari balik pintu.
     Waalaikum salam… masuk!” Jawab sang pemuda sambil mempersilahkan orang yang tak ia tahu siapa. Tiba- tiba dari balik pintu itu, muncullah dua gadis berkerudung biru langit, yang satunya memegang keranjang dengan susunan buah didalamnya ada jeruk, apel, anggur serta pir. Dan yang satunya lagi membawa sebuah tas ransel berwarna hitam. Tas pemuda itu. Tas yang terlempar saat kecelakaan itu terjadi. Wanita yang tengah memegang tas ranselnya, tepat disampingnya adalah wanita yang ia lihat terakhir kali dimana kejadian itu terjadi. Saat itulah ia merasakan sesuatu yang berbeda dalam hidupnya. Ia telah jatuh cinta. Cinta pada pandangan pertama.
          Sebulan di rumah sakit. Akhirnya sang pemuda beraktivitas seperti sediakala. Kuliah, kerja tugas dan lain sebagainya. Pemuda tersebut masih terdaftar sebagai mahasiswa semester tiga. Dan gadis yang ia cintai itu masih sederajat SMA di pesantren. Si pemuda benar- benar jatuh hati. Perempuan itu seringkali hadir dalam mimpinya. Ia semakin yakin. Yakin bahwa santriwati itu adalah belahan jiwanya. Saat di rumah sakit, ia bertanya banyak, ia melontarkan pertanyaan demi pertanyaan. Siapakah nama ade’? dimanaki’ tinggal? Dan banyak lagi yang ditanyakan pemuda itu.
        Saat semester lima, ia pun berusaha meyakinkan kedua orang tuanya. Meminta agar kedua orang tuanya berkenan untuk melamar gadis itu untuknya. Tapi, sayang beribu sayang. Mungkin ini adalah bentuk kasih sayang ayah dan ibunya. Pasti menginginkan yang terbaik untuknya. Dianalogikan bahwa sejatinya keturunan darah biru harus menikah dengan orang yang terpandang alias orang kaya raya. Mungkin menjadi impian kedua orang tuanya. Tapi, apa boleh buat, jika anak sedang jatuh cinta, apapun bisa dihadangnya. Meski harus menentang keinginan kedua orang tuanya. Saat itulah ia tak lagi mengijakkan kaki di istananya yang megah. Ia telah pergi meninggalkan kedua orang tuanya. Ia telah meminang gadisnya. Dan anehnya sang gadis langsung menerima lamarannya dan mereka pun menikah di pesantren, disaksikan oleh para penghuni pesantren.
***
Diatas meja makan telah tersedia nasi campur, susu coklat buatan sang Ayah. Aromanya menyeruak keseluruh ruangan. Wanginya bawang goreng merasuk kerongga- rongga hidung Ulya.
      “Ayah… sebelumnya Ulya ingin minta maaf” Ulya membuka pembicaraan. Mereka saling berhadapan dan bertatapan. Kemudian Ulya menunduk.
     “Ada apa, Nak? Kenapa harus minta maaf…” Jawab Ayah sambil menuangkan air kedalam gelas Ulya.
     “Ayah… sebulan yang lalu aku mengeledahi lemari Ayah, dan kutemukan sebuah kotak yang isinya telah menjawab semua pertanyaan Ulya selama ini, sebuah diari kecil, surat dan selembaran- selembaran kertas berisikan puisi, Ayah… mohon maafkan Ulya” terang Ulya sambil meneteskan air mata penyesalan karena telah lancang menggeledah kamar sang Ayah. Namun, pria itu tersenyum tanpa marah sedikit pun. Karena ia tahu, tak ada yang mesti disesalkan, yang berlalu biarlah berlalu.
      “Anakku, Ayah tak punya hak untuk marah kepadamu”. Memeluk tubuh anaknya dan membelai rambutnya yang hitam legam.
      “Ayah, hanya tak ingin mengingat masa lalu Ayah, karena semua itu terasa indah namun singkat, ayah masih ingin bersama dengan ibumu, ayah masih ingin mencintainya, mengarungi bahtera rumah tangga dengannya, merawat dan membesarkanmu bersama” Ucap, sang ayah sambil meneteskan air mata. Tak tahan lagi menahan pilu dihatinya.
      “Aku menyayangimu Ayah, layaknya menyayangi seorang Ibu yang merawatku”

***
Catatan kaki:
1)        Karaeng atau Andi”= Darah Biru, gelar bangsawan ditanah bugis, Makassar.







Bumi Allah, 1 Muharram 1432 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar