Rabu, 23 Februari 2011

ALKISAH

Learning more from My Mom


Karya; Aerin Nahl/ Arini Arief

Kasih ibu kepada beta Tak terhingga sepanjang masa Hanya memberi tak harap kembali Bagai sang surya menyinari dunia…..

Sebuah lagu untuk ibu belum sanggup menyaingi rasa sayang ibu untukku. Kemarin, hari ini dan seterusnya. Betapa tidak, aku seringkali membuat ibu kecewa. Aku begitu banyak salah pada ibu. Ibu kadang mengomel yang kubalas dengan omelan pula. What??? maksudku, omelan dalam hati. Mana ada seorang anak yang berani mengomeli ibunya seperti itu. Sungguh aku tak berani melakukannya. Aku hanya mencoba tersenyum atau bahkan tertawa saat mood ibu lagi dalam kondisi buruk, guawatttt dah…. Tidak bermaksud meledek, tapi aku ingin membuatnya untuk selalu tersenyum dan bahkan tertawa. Happily ever after….

Aku tahu masa muda ibu tak seindah dengan apa yang kurasakan saat ini. Secara, era semakin maju dan kultur yang berlaku telah berubah, jauh berbeda dengan tempoe duloe. Mungkin aku cukup beruntung mendapatkan nasib yang lebih baik darinya. Oh yah? Benarkah itu? I wish…
***
Ketika aku ingin bercerita, maka akan kuceritakan sedikit kisah. Entah sebuah cerita yang berasal dari diriku sendiri maupun kisah dari kehidupan orang- orang disekitarku. Karena aku senang bercerita. Dimanapun dan kapanpun…

Alkisah… adalah namaku. Nama yang diberikan oleh mendiang kakekku. Karena kakek senang bercerita alias suka mendongeng. Mungkin itulah yang menjadi salah satu sebab sehingga aku senang bercerita. Karena namaku acapkali dijadikan awalan dalam setiap cerita.

Beberapa tahun silam. Seorang anak ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya. Orang tua anak tersebut telah bercerai. Ibu dari sang anak pergi ke kota Kalimantan, tepatnya di Balikpapan. Kau tahu dimana Balikpapan itu? Sangat jauh…yang jelasnya bukan di dunia lain. Ibunya kemudian menikah lagi dengan lelaki asli disana. Wanita itu memiliki suami yang bernama Hajji Beddu’. Tak lain adalah saudara sepupu dari pengusaha sukses ternama dinegeri ini, yang terkenal dengan bisnis penjualan mobil Toyotanya, Hajji Abdul Bakri yang merupakan ayahanda dari Hajji Hasan Bakri . Namun aku tak tahu sedekat apa hubungan diantara mereka. Sebab, aku bukanlah pemerhati silsilah keluarga, apalagi pemerhati silsilah keturunan karaeng atau Puang di tanah bugis ini.

Mantan wakil presiden hajji Hasan Bakri. Pastilah hampir seluruh warga di negeri ini mengetahuinya. Yah iyalah…namanya juga pengusaha sukses dan pernah menjabat sebagai orang nomor dua di negeri yang permai ini. Hajji…begitulah orang bugis memanggil gelar haji bagi mereka yang telah menunaikan salah satu rukun Islam yang hanya diwajibkan bagi orang yang mampu secara finansial dan fisiknya. Bahasa halusnya nih, rohaniyah dan jasmaniyah harus siap. Sudah merupakan syarat mutlak.

Ibunya menikah lagi, sedangkan ayah kandungnya kembali kepelukan istri pertama. Yah… ayah dari anak itu ternyata poligami. Dan ternyata gagal dalam mengikuti sunnah Rasulullah. Ayahnya tak berlaku adil terhadap istri- istrinya. Kecemburuan hinggap dalam mahligai rumah tangganya. Perceraian pun menjadi jalan terakhir dalam cinta segitiga yang dibangunnya selama tujuh tahun. Sungguh malang nian nasib anak tersebut. Menjadi korban dari perceraian orangtuanya. Lebih malangnya lagi, ia ditinggal pergi oleh orangtua kandungnya yang kemudian dititipkan kepada tantenya di pelosok desa yang cukup jauh.

Bertahun- tahun ia menjalani hidup tanpa belaian lembut tangan orangtuanya. Walaupun sesekali ayahnya datang untuk menjenguknya. Namun, hal tersebut tak dapat mengobati rasa rindunya akan sosok seorang ayah. Apalagi sosok ibunya. Yang sedari SD, SMP hingga SMA tak pernah menemuinya.

Anak itu tumbuh dewasa. Dan jadilah ia seorang ibu. Anak itu tumbuh menjadi wanita yang tangguh. Dialah ibuku. Wanita sabar dan baik yang aku kenal selama hidupku. Wanita yang penuh dengan kepolosan dan keluguan namun dimataku ia tetap bersahaja.

Wanita yang menikah karena dijodohkan. Dialah salah satu wanita yang mengalami nasib yang hampir sama dengan Siti Nurbaya. DIJODOHKAN!!! Jika ibu tak dijodohkan saat itu dengan pria yang menjadi ayahku, mungkin aku takkan lahir ke dunia ini. Alkisah Hanif binti Baharuddin takkan melihat betapa menakjubkannya bumi ciptaan Tuhan. Anak seceria diriku mungkin takkan ada dalam daftar mahasiswa berprestasi. He..he… aku bersyukur telah dilahirkan ke dunia ini melalui rahim ibu yang sungguh luar biasa. Halimah binti Ibrahim, dialah wanita mulia yang telah melahirkanku, hingga bisa berpijak di bumi Allah. Menghirup oksigen, hingga merasakan sejuknya angin laut, merasakan enaknya buah duren hasil panen di kebun ayah. Menyaksikan kepompong hingga berubah menjadi seekor kupu- kupu yang bersayap warna- warni. Melihat awan dengan berbagai bentuk, kadang berbentuk dinosaurus, planet- planet, peta, bunga, pesawat, wajah orang dan bahkan ada yang berbentuk lafazd Allah... it’s amazing… Semua tak mungkin kualami jika ibuku tak pernah ada. Jika ibuku tak pernah dilahirkan oleh seorang ibu yang kemudian tak pernah lagi dilihatnya. I’m so sad…

Ibuku, dialah wanita yang mengajarkanku banyak hal akan arti dari sebuah kehidupan. Semasa kecilnya mengalami begitu banyak penderitaan. Namun ia tetap tegar. Disitulah aku belajar banyak hal yang mungkin tak kudapatkan dari orang lain. Dari sosok ibu yang kuanggap cerewet. Tapi justru aku belajar banyak darinya. Apakah karena ibundaku cerewet? Lebih dari itu, ibuku adalah wanita yang baik hati dan pekerja keras. Biarlah ia tetap cerewet, jika cerewetnya itu demi kebaikanku sendiri. Bagaimana jika ibu adalah seorang yang pendiam? Pasti hidup ini akan terasa hambar.

***
Masa remaja ibu ia habiskan dengan bekerja dan terus bekerja. Menulusuri hutan hanya untuk mendapatkan seikat kayu bakar. Menjual daun pisang dipasar. Mengangkat air dan memindahkannya kepenampungan. Menggayuh sepeda ontel dari desa menuju kota. Hanya untuk mendapatkan ilmu di sekolah menengah atas, namun ia tidak menamatkannya. Alasannya, karena ibu kandungnya akan menjemputnya dan tinggal bersamanya di Balikpapan, kemudian meneruskan pendidikannya disana. Malang nasib ibuku saat itu. ternyata apa yang dijanjikan oleh ibunya tidak terealisasikan alias janji palsu belaka. Betapa kecewanya ibu saat itu, sempat tinggal beberapa tahun bersama ibu kandungnya kemudian ia memutuskan untuk kembali kekampung halamannya dengan rasa penyesalan. Dan ia pun putus sekolah.

Entah sudah berapa kali ibu menceritakan pengalaman hidupnya. Ibu hanya menyuruhku agar aku lebih beruntung darinya. Meraih cita- cita setinggi mungkin. Kuliah dengan sungguh- sungguh. Ibu begitu yakin bahwa kelak nasibku akan lebih baik darinya. I must believe… karena doa seorang ibu akan diijabah oleh- Nya. Doa seorang ibu adalah doa yang sangat ampuh alias mujarab.

Aku tahu, kenapa ibuku kadang sangat cerewet. Karena disaat ia seumurku , ibu lebih banyak diam. Masa kecilnya tak seindah masa kecilku. Masa kecilku yang lebih banyak kuhabiskan untuk bermain. Sedangkan masa kecil ibu lebih banyak untuk bekerja. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Menurutku tak pantas dilakukan untuk anak seusianya saat itu. memotong- motong kayu apalagi. Bukankah hal tersebut adalah pekerjaan kaum lelaki? My mom is very amazing….and my Mom is my everything…

Ibu. Ketika ibu bercerita tentang masa lalunya aku begitu menyimaknya. Kusimak dengan baik setiap kata yang keluar dari mulut ibu. Bibir ibu yang khas, bibir bawah lebih tebal dibandingkan bibir atasnya. Menandakan ibu memang cerewet. Itu kata orang- orang kampung lho…orang- orang terdahulu…

Ibu senang bercerita. Kadang hal tak penting pun harus ia keluarkan dari mulutnya. Atau kadang ibu bercerita secara berulang- ulang. Hal yang pernah diceritakannya pasti dikemudian hari ia ceritakan lagi dan lagi, bahkan sampai kuhapal diluar kepala. Hingga aku menegurnya dan menyuruhnya untuk tidak bercerita yang itu- itu lagi. Kakak sulungku mungkin tak begitu peduli dengan sikap ibu yang senang mengulang- ulang cerita. Kakak sungguh beda denganku. Hal sekecil apapun yang dilakukan ibu pasti aku perhatikan jika aku sedang bersamanya. Kadang ibu menceritakan sesuatu yang mesti dirahasiakan. Entah keceplosan atau memang disengaja. Ibu kadang menceritakan kebiasaan- kebiasaan buruk anak- anaknya. Hal tersebutlah yang kadang membuatku risih bahkan kesal dalam hati, marah bahkan ingin meledak seperti bom atom. Agar orang- orang yang mendengar cerita ibuku segera lupa dengan apa yang baru diceritakan oleh ibuku.

Benteng pertahanan diri ibu memang lebih kuat dariku. Begitu sabarnya ia saat mendapatkan cobaan. Ibu begitu baik, sehingga salah satu saudara perempuan ayahku menyuruhnya agar jangan terlalu baik kepada orang lain. Kok, ada yah orang yang melarang untuk berbuat kebaikan? He..he..e.. Ibu ringan tangan dan tak suka berpangku tangan, ia senang membantu dan senang memberi. Walaupun ia sendiri sebenarnya dalam kesusahan. Because she is my Mom…good mother!

Selama menempati posisi sebagai ibu rumah tangga saat usia 21 tahun. Ia tetaplah pekerja keras seperti semasa kecilnya dulu. Memasak, berkebun hingga berdagang dipasar. Ibuku mungkin tak sesukses Khadijah, istri Rasulullah dalam berdagang. Bisa dikatakan keuntungan ibu saat berdagang sangatlah kurang bahkan acapkali mengalami kerugian. Apakah mungkin karena ibu tak bependidikan tinggi, hingga ia tak tau bagaimana cara berdagang yang menguntungkan dan mungkin bisa membuatnya menjadi kaya raya? Entahlah… Yang kusaksikan ibu tak pernah sedih saat pendapatannya kurang. Ia selalu saja bisa menerima. Sungguh sosok yang luar biasa. Ibu mungkin tak bisa mengalahi kecerdasan Aisyah dalam menghapal hadist, namun ibu mudah mengingat wajah orang- orang yang baru dikenal atau dilihatnya.

Ibu tak mengajarkanku bagaimana cara menjual daun pisang sebagaimana dirinya sewaktu kanak- kanak. Tapi ibu membantuku membuat keripik pisang untuk kujual di sekolah, saat diriku duduk dibangku SMA. Ibu tak mengajarkanku bagaimana cara menyelesaikan soal- soal matematika. Namun, ibu mengajarkanku bagaimana cara menghargai seseorang. Bagaimana cara menjadi lebih bijak dan tak menghitung kebaikan yang pernah dilakukan. Namun selalu mengingat kebaikan orang sekecil apapun. Begitulah ibu mengajarkanku agar pandai bersyukur dan berterima kasih.

Ibu menyuruhku untuk lebih banyak diam. Katanya, diam akan melindungimu dari masalah. Ibu tahu, aku anaknya cerewet. Suka berkomentar dan mungkin dianggap suka menentang. Yah… aku akan menentang pemerintah yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Menentang koruptor, menginginkan agar tangannya dipotong saja. Karena begitulah hukum Allah harus berlaku. Siapa yang berzina harus dihukum cambuk bahkan dirajam. Anak kecil hingga menjelang usia baligh jika tidak melaksanakan sholat maka harus dicambuk pula. Dengan maksud bukan untuk menyakiti. Tapi menyadarkan akan sebuah kewajiban, bahwa kelak jika tidak melaksanakan ibadah wajib maka manusia akan mendapatkan siksaan yang lebih dasyat, lebih sakit dari cambukan. Sungguh siksaan Allah amatlah pedih.

Ibu pernah melarangku agar tidak terlalu fanatik dalam beragama. Jelas aku menolak perintah ibu yang masih kurang tahu akan hukum- hukum Allah. Aku tak pernah menyalahkan ibu atau bahkan mengaggapnya bodoh. Ibu tetaplah ibuku, ia hanya butuh banyak bimbingan dan pembelajaran. Aku hanya ingin menyalahkan diriku jika masih gagal dalam menyadarkan umat Islam untuk berislam secara kaffah, bersungguh- sungguh dalam menerapkan hukum- hukum Allah.
***
Ibuku yang cerewet akan berubah jadi pendiam saat dihadapkan dengan orang- orang yang lebih cerewet darinya. Ibuku akan berubah jadi pendengar. Mendengar ocehan kakak iparnya atau sahabatnya. Kadang hal tak lucu pun menjadi bahan tertawaannya. Dan hal tersebutlah yang membuatku tertawa dalam hati.

Ibu yang cerewet. Akan menjadi pendengar setia untukku. Sayang ibu sedikit la- Load… lambat loading githu. Kadang aku harus mengulang ceritaku hingga beberapa kali. Yah… begitulah ibu. Ibu yang penuh dengan keluguan. Aku akan selalu menyayanginya seperti ia menyayangiku. Aku selalu berharap agar menjadi teman yang baik untuknya. Menjadi pelipur laranya. Aku hanya ingin merawat ibu hingga ia semakin tua dimakan usia, hingga kerutan diwajahnya semakin bertambah. Entah siapa yang akan lebih dulu menghadap Sang Illahi kelak, aku atau ibu kah? Namun aku berharap, agar ibu diberi umur yang panjang oleh Sang Khalik, pemilik segalanya.

Betapa bahagianya diriku, jika ibu menyaksikan diriku berdiri di pelaminan. Betapa senangnya ibu saat aku memberinya seorang cucu. Betapa indahnya hidup ini, bila aku dan ibu tetap bersama hingga maut memisahkan kami.
***

Buminya Allah, 24 Februari 2011
21 Rabbi’ul Awwal 1432 H

1 komentar: