Rabu, 23 Februari 2011

ALKISAH

Learning more from My Mom


Karya; Aerin Nahl/ Arini Arief

Kasih ibu kepada beta Tak terhingga sepanjang masa Hanya memberi tak harap kembali Bagai sang surya menyinari dunia…..

Sebuah lagu untuk ibu belum sanggup menyaingi rasa sayang ibu untukku. Kemarin, hari ini dan seterusnya. Betapa tidak, aku seringkali membuat ibu kecewa. Aku begitu banyak salah pada ibu. Ibu kadang mengomel yang kubalas dengan omelan pula. What??? maksudku, omelan dalam hati. Mana ada seorang anak yang berani mengomeli ibunya seperti itu. Sungguh aku tak berani melakukannya. Aku hanya mencoba tersenyum atau bahkan tertawa saat mood ibu lagi dalam kondisi buruk, guawatttt dah…. Tidak bermaksud meledek, tapi aku ingin membuatnya untuk selalu tersenyum dan bahkan tertawa. Happily ever after….

Aku tahu masa muda ibu tak seindah dengan apa yang kurasakan saat ini. Secara, era semakin maju dan kultur yang berlaku telah berubah, jauh berbeda dengan tempoe duloe. Mungkin aku cukup beruntung mendapatkan nasib yang lebih baik darinya. Oh yah? Benarkah itu? I wish…
***
Ketika aku ingin bercerita, maka akan kuceritakan sedikit kisah. Entah sebuah cerita yang berasal dari diriku sendiri maupun kisah dari kehidupan orang- orang disekitarku. Karena aku senang bercerita. Dimanapun dan kapanpun…

Alkisah… adalah namaku. Nama yang diberikan oleh mendiang kakekku. Karena kakek senang bercerita alias suka mendongeng. Mungkin itulah yang menjadi salah satu sebab sehingga aku senang bercerita. Karena namaku acapkali dijadikan awalan dalam setiap cerita.

Beberapa tahun silam. Seorang anak ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya. Orang tua anak tersebut telah bercerai. Ibu dari sang anak pergi ke kota Kalimantan, tepatnya di Balikpapan. Kau tahu dimana Balikpapan itu? Sangat jauh…yang jelasnya bukan di dunia lain. Ibunya kemudian menikah lagi dengan lelaki asli disana. Wanita itu memiliki suami yang bernama Hajji Beddu’. Tak lain adalah saudara sepupu dari pengusaha sukses ternama dinegeri ini, yang terkenal dengan bisnis penjualan mobil Toyotanya, Hajji Abdul Bakri yang merupakan ayahanda dari Hajji Hasan Bakri . Namun aku tak tahu sedekat apa hubungan diantara mereka. Sebab, aku bukanlah pemerhati silsilah keluarga, apalagi pemerhati silsilah keturunan karaeng atau Puang di tanah bugis ini.

Mantan wakil presiden hajji Hasan Bakri. Pastilah hampir seluruh warga di negeri ini mengetahuinya. Yah iyalah…namanya juga pengusaha sukses dan pernah menjabat sebagai orang nomor dua di negeri yang permai ini. Hajji…begitulah orang bugis memanggil gelar haji bagi mereka yang telah menunaikan salah satu rukun Islam yang hanya diwajibkan bagi orang yang mampu secara finansial dan fisiknya. Bahasa halusnya nih, rohaniyah dan jasmaniyah harus siap. Sudah merupakan syarat mutlak.

Ibunya menikah lagi, sedangkan ayah kandungnya kembali kepelukan istri pertama. Yah… ayah dari anak itu ternyata poligami. Dan ternyata gagal dalam mengikuti sunnah Rasulullah. Ayahnya tak berlaku adil terhadap istri- istrinya. Kecemburuan hinggap dalam mahligai rumah tangganya. Perceraian pun menjadi jalan terakhir dalam cinta segitiga yang dibangunnya selama tujuh tahun. Sungguh malang nian nasib anak tersebut. Menjadi korban dari perceraian orangtuanya. Lebih malangnya lagi, ia ditinggal pergi oleh orangtua kandungnya yang kemudian dititipkan kepada tantenya di pelosok desa yang cukup jauh.

Bertahun- tahun ia menjalani hidup tanpa belaian lembut tangan orangtuanya. Walaupun sesekali ayahnya datang untuk menjenguknya. Namun, hal tersebut tak dapat mengobati rasa rindunya akan sosok seorang ayah. Apalagi sosok ibunya. Yang sedari SD, SMP hingga SMA tak pernah menemuinya.

Anak itu tumbuh dewasa. Dan jadilah ia seorang ibu. Anak itu tumbuh menjadi wanita yang tangguh. Dialah ibuku. Wanita sabar dan baik yang aku kenal selama hidupku. Wanita yang penuh dengan kepolosan dan keluguan namun dimataku ia tetap bersahaja.

Wanita yang menikah karena dijodohkan. Dialah salah satu wanita yang mengalami nasib yang hampir sama dengan Siti Nurbaya. DIJODOHKAN!!! Jika ibu tak dijodohkan saat itu dengan pria yang menjadi ayahku, mungkin aku takkan lahir ke dunia ini. Alkisah Hanif binti Baharuddin takkan melihat betapa menakjubkannya bumi ciptaan Tuhan. Anak seceria diriku mungkin takkan ada dalam daftar mahasiswa berprestasi. He..he… aku bersyukur telah dilahirkan ke dunia ini melalui rahim ibu yang sungguh luar biasa. Halimah binti Ibrahim, dialah wanita mulia yang telah melahirkanku, hingga bisa berpijak di bumi Allah. Menghirup oksigen, hingga merasakan sejuknya angin laut, merasakan enaknya buah duren hasil panen di kebun ayah. Menyaksikan kepompong hingga berubah menjadi seekor kupu- kupu yang bersayap warna- warni. Melihat awan dengan berbagai bentuk, kadang berbentuk dinosaurus, planet- planet, peta, bunga, pesawat, wajah orang dan bahkan ada yang berbentuk lafazd Allah... it’s amazing… Semua tak mungkin kualami jika ibuku tak pernah ada. Jika ibuku tak pernah dilahirkan oleh seorang ibu yang kemudian tak pernah lagi dilihatnya. I’m so sad…

Ibuku, dialah wanita yang mengajarkanku banyak hal akan arti dari sebuah kehidupan. Semasa kecilnya mengalami begitu banyak penderitaan. Namun ia tetap tegar. Disitulah aku belajar banyak hal yang mungkin tak kudapatkan dari orang lain. Dari sosok ibu yang kuanggap cerewet. Tapi justru aku belajar banyak darinya. Apakah karena ibundaku cerewet? Lebih dari itu, ibuku adalah wanita yang baik hati dan pekerja keras. Biarlah ia tetap cerewet, jika cerewetnya itu demi kebaikanku sendiri. Bagaimana jika ibu adalah seorang yang pendiam? Pasti hidup ini akan terasa hambar.

***
Masa remaja ibu ia habiskan dengan bekerja dan terus bekerja. Menulusuri hutan hanya untuk mendapatkan seikat kayu bakar. Menjual daun pisang dipasar. Mengangkat air dan memindahkannya kepenampungan. Menggayuh sepeda ontel dari desa menuju kota. Hanya untuk mendapatkan ilmu di sekolah menengah atas, namun ia tidak menamatkannya. Alasannya, karena ibu kandungnya akan menjemputnya dan tinggal bersamanya di Balikpapan, kemudian meneruskan pendidikannya disana. Malang nasib ibuku saat itu. ternyata apa yang dijanjikan oleh ibunya tidak terealisasikan alias janji palsu belaka. Betapa kecewanya ibu saat itu, sempat tinggal beberapa tahun bersama ibu kandungnya kemudian ia memutuskan untuk kembali kekampung halamannya dengan rasa penyesalan. Dan ia pun putus sekolah.

Entah sudah berapa kali ibu menceritakan pengalaman hidupnya. Ibu hanya menyuruhku agar aku lebih beruntung darinya. Meraih cita- cita setinggi mungkin. Kuliah dengan sungguh- sungguh. Ibu begitu yakin bahwa kelak nasibku akan lebih baik darinya. I must believe… karena doa seorang ibu akan diijabah oleh- Nya. Doa seorang ibu adalah doa yang sangat ampuh alias mujarab.

Aku tahu, kenapa ibuku kadang sangat cerewet. Karena disaat ia seumurku , ibu lebih banyak diam. Masa kecilnya tak seindah masa kecilku. Masa kecilku yang lebih banyak kuhabiskan untuk bermain. Sedangkan masa kecil ibu lebih banyak untuk bekerja. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Menurutku tak pantas dilakukan untuk anak seusianya saat itu. memotong- motong kayu apalagi. Bukankah hal tersebut adalah pekerjaan kaum lelaki? My mom is very amazing….and my Mom is my everything…

Ibu. Ketika ibu bercerita tentang masa lalunya aku begitu menyimaknya. Kusimak dengan baik setiap kata yang keluar dari mulut ibu. Bibir ibu yang khas, bibir bawah lebih tebal dibandingkan bibir atasnya. Menandakan ibu memang cerewet. Itu kata orang- orang kampung lho…orang- orang terdahulu…

Ibu senang bercerita. Kadang hal tak penting pun harus ia keluarkan dari mulutnya. Atau kadang ibu bercerita secara berulang- ulang. Hal yang pernah diceritakannya pasti dikemudian hari ia ceritakan lagi dan lagi, bahkan sampai kuhapal diluar kepala. Hingga aku menegurnya dan menyuruhnya untuk tidak bercerita yang itu- itu lagi. Kakak sulungku mungkin tak begitu peduli dengan sikap ibu yang senang mengulang- ulang cerita. Kakak sungguh beda denganku. Hal sekecil apapun yang dilakukan ibu pasti aku perhatikan jika aku sedang bersamanya. Kadang ibu menceritakan sesuatu yang mesti dirahasiakan. Entah keceplosan atau memang disengaja. Ibu kadang menceritakan kebiasaan- kebiasaan buruk anak- anaknya. Hal tersebutlah yang kadang membuatku risih bahkan kesal dalam hati, marah bahkan ingin meledak seperti bom atom. Agar orang- orang yang mendengar cerita ibuku segera lupa dengan apa yang baru diceritakan oleh ibuku.

Benteng pertahanan diri ibu memang lebih kuat dariku. Begitu sabarnya ia saat mendapatkan cobaan. Ibu begitu baik, sehingga salah satu saudara perempuan ayahku menyuruhnya agar jangan terlalu baik kepada orang lain. Kok, ada yah orang yang melarang untuk berbuat kebaikan? He..he..e.. Ibu ringan tangan dan tak suka berpangku tangan, ia senang membantu dan senang memberi. Walaupun ia sendiri sebenarnya dalam kesusahan. Because she is my Mom…good mother!

Selama menempati posisi sebagai ibu rumah tangga saat usia 21 tahun. Ia tetaplah pekerja keras seperti semasa kecilnya dulu. Memasak, berkebun hingga berdagang dipasar. Ibuku mungkin tak sesukses Khadijah, istri Rasulullah dalam berdagang. Bisa dikatakan keuntungan ibu saat berdagang sangatlah kurang bahkan acapkali mengalami kerugian. Apakah mungkin karena ibu tak bependidikan tinggi, hingga ia tak tau bagaimana cara berdagang yang menguntungkan dan mungkin bisa membuatnya menjadi kaya raya? Entahlah… Yang kusaksikan ibu tak pernah sedih saat pendapatannya kurang. Ia selalu saja bisa menerima. Sungguh sosok yang luar biasa. Ibu mungkin tak bisa mengalahi kecerdasan Aisyah dalam menghapal hadist, namun ibu mudah mengingat wajah orang- orang yang baru dikenal atau dilihatnya.

Ibu tak mengajarkanku bagaimana cara menjual daun pisang sebagaimana dirinya sewaktu kanak- kanak. Tapi ibu membantuku membuat keripik pisang untuk kujual di sekolah, saat diriku duduk dibangku SMA. Ibu tak mengajarkanku bagaimana cara menyelesaikan soal- soal matematika. Namun, ibu mengajarkanku bagaimana cara menghargai seseorang. Bagaimana cara menjadi lebih bijak dan tak menghitung kebaikan yang pernah dilakukan. Namun selalu mengingat kebaikan orang sekecil apapun. Begitulah ibu mengajarkanku agar pandai bersyukur dan berterima kasih.

Ibu menyuruhku untuk lebih banyak diam. Katanya, diam akan melindungimu dari masalah. Ibu tahu, aku anaknya cerewet. Suka berkomentar dan mungkin dianggap suka menentang. Yah… aku akan menentang pemerintah yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Menentang koruptor, menginginkan agar tangannya dipotong saja. Karena begitulah hukum Allah harus berlaku. Siapa yang berzina harus dihukum cambuk bahkan dirajam. Anak kecil hingga menjelang usia baligh jika tidak melaksanakan sholat maka harus dicambuk pula. Dengan maksud bukan untuk menyakiti. Tapi menyadarkan akan sebuah kewajiban, bahwa kelak jika tidak melaksanakan ibadah wajib maka manusia akan mendapatkan siksaan yang lebih dasyat, lebih sakit dari cambukan. Sungguh siksaan Allah amatlah pedih.

Ibu pernah melarangku agar tidak terlalu fanatik dalam beragama. Jelas aku menolak perintah ibu yang masih kurang tahu akan hukum- hukum Allah. Aku tak pernah menyalahkan ibu atau bahkan mengaggapnya bodoh. Ibu tetaplah ibuku, ia hanya butuh banyak bimbingan dan pembelajaran. Aku hanya ingin menyalahkan diriku jika masih gagal dalam menyadarkan umat Islam untuk berislam secara kaffah, bersungguh- sungguh dalam menerapkan hukum- hukum Allah.
***
Ibuku yang cerewet akan berubah jadi pendiam saat dihadapkan dengan orang- orang yang lebih cerewet darinya. Ibuku akan berubah jadi pendengar. Mendengar ocehan kakak iparnya atau sahabatnya. Kadang hal tak lucu pun menjadi bahan tertawaannya. Dan hal tersebutlah yang membuatku tertawa dalam hati.

Ibu yang cerewet. Akan menjadi pendengar setia untukku. Sayang ibu sedikit la- Load… lambat loading githu. Kadang aku harus mengulang ceritaku hingga beberapa kali. Yah… begitulah ibu. Ibu yang penuh dengan keluguan. Aku akan selalu menyayanginya seperti ia menyayangiku. Aku selalu berharap agar menjadi teman yang baik untuknya. Menjadi pelipur laranya. Aku hanya ingin merawat ibu hingga ia semakin tua dimakan usia, hingga kerutan diwajahnya semakin bertambah. Entah siapa yang akan lebih dulu menghadap Sang Illahi kelak, aku atau ibu kah? Namun aku berharap, agar ibu diberi umur yang panjang oleh Sang Khalik, pemilik segalanya.

Betapa bahagianya diriku, jika ibu menyaksikan diriku berdiri di pelaminan. Betapa senangnya ibu saat aku memberinya seorang cucu. Betapa indahnya hidup ini, bila aku dan ibu tetap bersama hingga maut memisahkan kami.
***

Buminya Allah, 24 Februari 2011
21 Rabbi’ul Awwal 1432 H

Senin, 21 Februari 2011

CERPEN YANG KESEKIAN....

“Nikmat Tiada Tara”

Penulis : Arini Arief

“Maka nikmat Tuhan- mu yang manakah yang kamu dustakan?” TQS. AR- RAHMAN : 13, untuk yang kesekian kalinya firman Allah ini sampai ketelingaku. Kali ini aku mendengarnya dari seorang Hafizah, teman dari temanku yang mengisi kajian Jum’at siang ini. Sungguh indah dan merdu suaranya, lafadznya begitu jelas dan lancar. Ayat- ayat Allah yang ia bacakan meresap hingga kerongga- rongga dadaku, begitu dalam, bulu romaku berdiri sembilan puluh derajat. Sungguh tubuhku terasa bergetar, bak tersengat listrik. Tanpa terkendalikan satu dua tetes cairan dari mataku keluar, dan terus berlanjut. Entah berapa helai tissu yang sudah aku habiskan untuk mengapus air mataku yang terus saja bercucuran, dan kerudung merah bata yang kukenakan sampai basah ujung- ujungnya. Rasanya tissu ditanganku masih belum cukup. Orang- orang disekitarku mungkin memperhatikanku ataukah mungkin tidak. Terserah mereka. Apa mau dikata.Hari ini aku telah menangis. Menangis sejadi- jadinya. Menangis mendengarkan Firman- Nya. Sungguh aku tak ingin mendustakan firman Tuhan-ku. Semua terasa benar, semua adalah benar. Semua adalah nyata, segala sesuatu adalah nikmat- Nya, nikmat dari- Nya. Allah Azza wa Jalla…… Alhamdulillah…Alhamdulillah…Alhamdulillah, kuucapkan berkali- kali dalam sanubariku. Aku sangat bersyukur berada dalam lingkaran ini. Lingkaran yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan kepada Sang Khalik.

Kajian Jum’at. Salah satu rutinitas yang diadakan oleh aktivis lembaga dakwah dikampusku. Yah… tentu saja setiap hari Jum’at. Disaat para lelaki melaksanakan sholat Jum’ at di Masjid. Kami sangat antusias mengikuti acara yang insha Allah dirahmati- Nya. Aku dan keempat sahabatku, Mila, Salma, Yuyu, Ika. Selepas kuliah, kami segera melangkahkan kaki dimana tempat kajian Jum’at biasa diadakan. Entah dikelas, Musholla Muslimah, ataupun dialam bebas. Maksudku, dibawah pohon atau taman- taman sekitar kampus. Dan kali ini diadakan di Musholla Muslimah. Walapun pertemuan indah ini hanya berlangsung selama 30 menit, tapi ilmu terasa mengalir betul. Tersampaikan dengan indah dan penuh makna.

Sungguh menggembirakan. Yah… semakin banyak ilmu yang saya dapatkan selama mengikuti kegiatan ini. Selain itu, juga akan menambah teman dan mempererat tali silatuhrahmi antara sesama Muslimah. Tentunya, acara ini dikhususkan untuk Muslimah saja. Jadi kita bebas untuk berekspresi. He..he… maksudku, bertukar pendapat, diskusi dan sebagainya.

Kanda Pemateri alias ukhti yang lebih banyak ilmunya dari pada aku, sering dan tak pernah bosan mengatakan, “ wahai ukhti- ukhti yang insha Allah dirahmati- Nya, terima kasih banyak, syukran telah menghadiri taman- taman surga, menghadiri majelis- majelis ilmu yang insha Allah mengantarkan kita semua ke Surganya Allah.” Hal ini memberikan rasa syukur dan rasa bangga diantara kami. Memberikan motivasi agar kami lebih giat menghadiri majelis- majelis ilmu Islam,mempelajari, mengkaji dan mengamalkan ilmu Allah nan luas. Mempelajari dan menerapkan hukum- hukum Allah secara Kaffah disegala aspek kehidupan. Karena Islam adalah Rahmat bagi sekalian Alam, Rahmatan Lil A’lamiin.... Dan sungguh ana bangga terlahir sebagai orang Muslim. Dan mudah- mudahan menjadi Muslim sejati. Bukan Muslim KTP atau apalah…

Setahun ini aku merasakan perubahan besar dalam diriku dan hidupku. Awal masuk kampus dulu, aku sama sekali amat jauh dari agama. Cara bergaul dan berpakaiannku sungguh tak mencerminkan kalau aku ini sebenarnya adalah seorang Muslimah, meninggalkan shalat dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Aku tak berkerudung dan tak mengenalan Jilbab, berbaur dengan lawan jenis, bahkan sering aku berboncengan sepeda motor dengan pria, kediskotik, berkemah dihutan bersama pria dan banyak lagi aktivitas yang sebenarnya dapat menjerumuskanku kedalam neraka Jahannam. Teringat jelas, dulunya aku sangat urakan dan jahiliyah. Kekampus mengenakan celana Jeans, kaos oblong dan dipadukan dengan jaket, kadang- kadang celana yang aku kenakan robek dibagian lutut bahkan diatasnya lagi. Sangat kelaki- lakian bukan?. Dan anehnya, saat itu aku tak pernah merasa risih apalagi malu dengan kostumku itu. Tapi itu dulu…. Beda dengan sekarang. Dan sekarang aku sangat malu mengingat apa yang terjadi atas diriku setahun yang lalu, karena sedari kecil memang aku sangat jauh dari ajaran Islam. Sungguh aku malu, malu kepada- Mu ya Rabb… malu kepada muslim yang amat taat padamu. Malu, karena orang tuaku tak pernah mengajarkanku tentang agama- Mu, karena orang tuaku tak pernah melatihku berwudhu dengan benar dan menuntunku untuk bersujud kepada- Mu, karena orang tuaku begitu sibuk dengan dunia mereka, dan sama sekali tidak begitu peduli dengan anak semata wayangnya ini. Tiada lain adalah aku. Semua keinginanku hanyalah akan terpenuhi. Apapun yang aku minta. Tapi, sungguh saat itu aku merasa hampa, kosong, tak ada kebahagiaan yang hakiki dalam hatiku. Semua dalah tipuan. Orang tuaku amat jauh dari agama. Dan kuputuskan untuk mencari kebahagiaan yang sebenarnya. kebahagiaan yang mutlak dimiliki oleh seorang Muslim.

Sekarang genap sudah dua tahun aku mengenyam pendidikan dibangku perguruan tinggi, disalah Universitas terkemuka di negeri yang amat kaya ini. Perubahan akan selalu ada. Salah satu kalimat yang akan menjadi pembuktian dalam hidupku. Pembuktian kalau aku bisa berubah, dan harus berubah. Dan, inshaAllah kearah yang lebih baik. Ternyata aku telah menjemput yang namanya HIDAYAH itu. Sebuah anugrah yang Allah berikan tiada tara. Aku benar- benar berubah, sekarang telah memakai kerudung dan mengulurkan Jilbab keseluruh tubuhku, tak lupa lagi untuk selalu menggunakan tangan kanan untuk makan dan minum, baca doa sebelum dan sesudah masuk WC, dan berkumpul bersama orang- orang yang sholeh, insha Allah. Alhamdillah…aku juga sering meluangkan waktu dan aktif mengikuti kajian- kajian Islam, tarbiyah, dan dialog- dialog Islami, yang tentunya akan menambah khazanah pengetahuanku mengenai Islam. Sekarang aku adalah salah satu aktivis dakwah dikampus. Tentu aku bangga akan hal ini. Tapi, kadang- kadang aku merasa sedih dan takut. Apakah aku bisa menjalankan amanah ini dengan sebagaimana mestinya. Sesuai dengan tuntunan al- Quran dan as- Sunnah? Oh… Tuhan, ini sungguh ujian bagiku, ujian yang sangat berat. Sedangkan aku sendiri masih sangat kurang ilmunya. Aku bagaikan debu yang terombang- ambing dilautan pasir Sahara. Ilmu-Mu begitu luas, apakah aku mampu men- save nya dengan baik dan rapi di memoriku yang kapasitasnya amat terbatas ini. Walaupun ada milyaran sel otak dikepalaku yang siap siaga membantu. Apakah aku sanggup?, sebab terkadang aku menjadi orang yang amat pelupa. Dan mungkin akan lalai.

Man jadda wa Jada… kata- kata ini berkali- kali terngiang jelas ditelingaku, bahkan menjadi nyanyian. “ siapa yang bersungguh- sungguh, maka dapatlah ia…”. Dalam sujud shalatku aku seringkali meminta agar aku lebih baik dari hari kemarin, dan diberikan kesungguhan hati, ketetapan hati, agar tak kembali lagi kejalan yangg buruk dan menyesatkan. Aku benar- benar ingin menjadi wanita sholehah. Aku telah merindukan surga. Dan aku telah jatuh cinta. Jatuh Cinta kepada- Mu ya Rabb…

Sungguh, Nikmat Tuhan- mu yang manakah yang kamu dustakan? Kurasa, tak ada… semua begitu indah… indah pada waktunya, indah saat kukenal Engkau ya Rabb… indah disaat hidayah itu datang kepadaku. Saat musim hujan setahun silam. Saat kecelakaan maut yang hampir mengantarkanku pada liang kubur yang sunyi, senyap, gelap dan pasti akan menyiksaku tanpa kasihan sedikitpun. Pada saat itu, aku setengah sadar. Aku hanya merasa sakit diseluruh tubuhku. Lebih sakit lagi dihatiku. Dan kemudian dalam ketidaksadaranku selama sepekan lagi, sebenarnya aku mati, aku mati. Ruhku telah berpisah sebentar dengan jasadku. Kemudian aku kembali. Kurasa Tuhan memberiku kesempatan untuk memperbaiki diri. Dan aku menjemput hidayah itu. Segera aku bertobat disaksikan oleh para malaikat Allah… I will be back…. True as Muslimah, insha Allah…***

Bumi Allah, 2 Desember 2010

PUISI

BALASAN TUHAN UNTUK KALIAN

Karya; Arini Arief
Mahasiswa Teknik Arsitektur UNHAS


Sebagian tertawa
Sebagiannya lagi menangis
Sebagian berpoya- poya
Sebagiannya lagi berduka lara
Tak tahu harus berbuat apa lagi…

Dimanakah kalian, wahai umat Muslim
Saat saudara kalian dibantai
Bersimpah darah
Berlumurkan timah panas
Dimanakah kalian, wahai kaum Muslimin
Kudengar, kalian adalah umat terbanyak di penjuru dunia
Mengapa masih enggan berjihad
Melawan musuh- musuh Allah
Menyeruh kepada yang ma’ruf
Mencegah dari yang mungkar

Kalian adalah tentara dengan barisan terbesar
Mencintai kedamaian
Dan saling berkasih sayang
Satu tubuh
Satu merasa sakit
Maka, yang lain pun akan menjadi sakit

Nyatanya? Dimanakah kalian ini?
Apakah kalian lebih senang melihat atlet bergulat dilapangan
Ataukah…
Lebih senang
Berjoget ria di diskotik
Pesta miras.
Menonton konser

Menolehlah dan jangan berpaling muka
Lihatlah kebobrokan
Pandanglah bencana alam
Bukankah itu balasan Tuhan untuk kalian…
***















My Mother IS Super HERO…

Karya; Arini Arief


Hari ini adalah hari dimana aku harus pulang, yah.. kuliah semester IV telah usai, ujian telah usai. Saatnya mahasiswa pulang kampung dan berkumpul bersama keluarga mereka. Jika masih punya tempat untuk kembali…he..he… kalau tidak, yah…nikmati saja kesendirian di kamar kos- an…
Aku harus memikirkan dan merencanakan apa yang akan aku kerjakan selama sebulan penuh di kampung nanti. Apakah bahagia atau sebaliknya? Bête’ or Hepi?

Tubuhku, sendi- sendiku telah merasakan kerinduan penuh and teramat sangat terhadap keluarga- keluargaku dikampung, bisa dikatakan keluargaku adalah keluarga yang cukup besar dan berperan penting dalam hidupku. Biasanya ada semacam sesi penyambutan dan deretan acara lainnya bagi orang- orang yang baru tiba dari perantauan alias pulang kampung. Ritual penaymbutan githu deh….! Saya jadi teringat dengan presiden Amerika Serikat, Barrak Husain Obama sewaktu berkunjung ke Indonesia tepatnya dikampus UI Depok beberapa bulan yang lalu, beliau disambut begitu meriah dan sempat berkata saat memberiakn kuliah umum, “ Pulang kampung, Nih… dan seterusnya”. Kalau tidak salah dengar seperti itulah yang Obama ucapakan. Mungkin Obama senang karena pernah tinggal di Indonesia kurang lebih enam tahun. Bagaimana dengan saya? Yah, tentu saja sangat senang pulang kampung, rasanya lega karena tak ada lagi tugas kuliah yang menghantui, yang ada adalah kebersamaan dan keceriaan. Makanan enak, jalan- jalan keliling kampung, berpetualang and many more activity…

Begitulah yang saya rasakan dimana dalam sebuah tradisi akan terasa betul kebersamaan itu. Saya rasa begitulah keluarga yang ada pada setiap daerah, keluarga begitu berarti dan penuh cinta dan kasih. Terutama untuk ibuku, wajahnya, sentuhan, raut wajahnya begitu bersahabat dan bahagia menanti kepulangan anak sulungnya ini. Ibu selalu menanti- nanti kedatanganku, selalu menelepon menanyakan, Nak, kapan pulangnya… Ibu sangat rindu, pulang yah…bla..bla.., begitulah Ibuku. Seakan tak mengenal ras bosan dan capek. Dapat dikatakan Ibuku adalah wanita yang cerewet, dan menurutku dia Wanita yang polos, kerena mudah dipengaruhi dan diperintah oleh siapapun. Ibuku adalah….

Tibalah aku dikampungku tercinta yang hijau dan damai… kicauan burung, hembusan angin seakan- akan menyambutku dengan penuh keramahan. Saat turun dari mobil yang kutumpangi dari kota yang lumayan jauh, tebak siapa yang lebih dulu muncul dari balik pintu rumah? Tak lain, adalah Ibuku seorang. Itulah Ibu yang membesarkanku dan memberiku banyak kasih sayang, yang mengajarkanku banyak hal. Itulah Ibuku yang memelukku disaat kukedinginan dimalam hari, itulah ibu yang merawatku disaat sakit, itulah ibu yang membelikan apapun yang akau mau, jika ibu punya cukup uang. Ibuku adalah segala- galanya untukku. Senyumnya adalah senyumku, bahagiaku adalah bahagianya, deritanya adalah deritaku, dan marahku adalah dosaku, ia jika aku marah pada ibuku, pasti Allah akan marah kepadaku dan akan menghukumku.

Selama dikampus aku selalu ingin belajar lebih banyak soal agama, aku ingin lebih mengenal Tuhan ku, mengenal ciptaan- Nya, agar aku lebih bijak dan sayang terhadap sesama manusia, tentu saja kepada Ibu tercinta.
Disambutnya aku dengan pelukan hangat dan segera kuraih tangannya yang kulit tangannya lumayan tebal dan kasar. Begitulah ibuku, dia terbiasa mengerjakan banyak hal- hal yang berat sedari masih bocah sampe sekarang. Wajar saja dia tak pernah hidup bersama dengan orang tuanya sejak Beliau dilahirkan, beliau diasuh oleh saudara perempuan dari ayahnya. Pahit rasanya jika kuceritakan kisah hidup dari ibuku, dan juga pasti ada percikan- percikan manisnya, tapi menurutku ibuku terlau banyak mengalami penderiataan yang ia sembunyikan. Begitulah antara ibu dan anak pastilah ada hubungan batin yang kuat. Dan aku terlalu sering meraskan itu.
Hari ini, ibu memasak banyak makanan dan tentunya ada makanan kesukaanku, diatas meja persegi panjang, telah tersedia sayur asem, tempe goreng kecap, sambel Pete dan banyak lagi. Ibu memang paling mengerti. Ibu begitu memperhatiakan diriku, kurasa ibu sangat sayang padaku, kerena aku juga sangat sayang padanya. Oh ibu..!
Lihatlah, sehabis aku mengisi perutku yang keroncongan selama diperjalanan tadi dan kini telah penuh terisi dengan masakan enak buatan ibu. Ibu malah menyuruhku untuk beristrahat, biasanya ibu menyuruku mencuci piring jika usai makan, kenapa sekarang tidak yah?, ibu sering berkata kalau anak perempuan itu harus rajin, rajin mngerjakan pekerjaan rumah, memasak, mencuci, dan banyak lagi. Ibuku biasanya cerewet, tapi sekarang mengapa tidak yah? Ada apa dengan ibuku..! apa ibu habis bertengkar dengan Bapak atau ada masalah lain? ah, entahlah…
Sore begini Bapak belum pulang dari berkebun. Biasanya sih, bapakku memang pulangnya sore sekali, bisa dikatakan menjelang maghrib, saat matahari mulai memerah diufuk barat barulah bapakku pulang dari kebun.
Ibu beda dengan bapakku, sangat berbeda. But, mengapa mereka masih awet sampai sakarang?, itu rahasia Tuhan. Sudah ditakdirkan mereka hidup bersama dan dikaruniakan anak seperti diriku. Sebenarnya aku punya adik laki- laki, tapi entahlah dia dimana sekarang, sampai detik ini ia belum menampakkan batang hidungnya dihadapanku. Biasa… anak laki- laki yang lagi beranjak dewasa, maunya kumpul terus sama teman- temannya. Tapi, ada rasa penasaran dan resah gelisa didalam hatiku, dimana ia sekarang, kenapa sesore ini belum juga pulang?, ibuku yang sejak tadi didapur rasanya tak ambil pusing soal adikku. Apa ibuku sesabar itu menghadapi seorang anak seperti adikku yang badung itu. Seorang adik yang tak mau diatur- atur apalagi diperintah ini itu sma orang tua. Saya pikir inilah efek dari pergaulan, penyalaan dalam menggunakan yang namanya pergaulan. Bergaul dengan orang- orang yang tak jelas. Kurang pendidikan, moral apalagi akhlaq. Begitulah pemuda- pemudi dikampung ini, banyak yang menganggur dan menghabiskan banyak waktunya diperapatan jalan, paling tidak mereka sering berkumpul di pos ronda diujung desa. Mungkin adikku sekarang ada disana.

Waktu terus berjalan, aku masih disini. Maksudku masih dirumah saja, kadang membantu ibu didapur, membereskan rumah, menyapu halaman rumah dan sebagainya. Seperti biasa, setiap pekan aku harus berkunjung kerumah nenek yang jaraknya lumayan dekat dari rumahku, sekitar 200 meter. Menemani nenek bercerita, memijat punggungnya yang sudah membungkuk. Nenek begitu ramah, dia senang mendengarkan hal- hal baru, biasa dikatakan selalu ingin up-date lah...he..he.. nenek tak mau ketinggalan zaman. Nenek tinggal bersama dengan cucu angkatnya, namanya Nisa. Dia sudah baru tamat ES-DE, sekarang kelas 1 SMP. Nenek merawatnya sejak berumur 4 tahun, nenek mengambilnya di pantai asuhan dekat balai desa. Dan menganggapnya seperti cucunya sendiri. Padahal nenek mempunyai banyak anak dan cucu. Yah… begitulah ibu dari bapakku ini, baik hati dan penuh semangat.

Kurasa, Ibuku juga akan seperti nenek. Wanita yang perkasa dan baik hati. Mudah- mudahan aku juga seperti mereka, baik hati dan tangguh. Menjadi bidadari yang dirindukan surga, kurasa itulah impian dari setiap wanita dibumi Allah ini. Banyak yang ingin masuk surga, tapi entah bagaimana mereka mewujudkannya, banyak yang hanya sekedar bermimpi dan berangan- angan ingin masuk surganya Allah, tapi susah untuk beramal ma’ruf nahi mungkar. Kira- kira kapan terwujudnya?.

Ibuku, insha Allah masuk surga, mengapa tidak… setiap hari aku mendoaknnya, dan aku harus menjadi anak yang sholeh untuk mewujudkannya. Ibu begitu baik, jadi layaklah Beliau masuk surga. selama hidupku ibu selalu menjadi yang terbaik, sumber inspirasi dan motivasiku, walaupun aku tahu banyak wanita- wanita yang lebih baik darinya, walaupun ia tak sebaik Khadijah, tak secerdas Aisyah, tak sesabar Maryam. Tapi ibuku tetaplah yang terbaik dalam hidupku, ibu telah melahirkanku kedunia ini dengan izin Allah. Ibu telah membesarkanku dengan kasih sayangnya… oh, betapa Ibuku sangat berjasa, dan aku tahu aku tak dapat membalas budinya, hanya Allah lah yang berhak atas dirinya, hanya Allah lah yang Maha Tahu apa yang terbaik untuk ibuku. Aku hanya bisa membalas jasa ibu dengan kasih sayang pula.

Seringkali aku bercucran air mata, tatkala kuingat dosa- dosa dan kesalahan yang kuperbuat selama ini. Ketidakpuasan yang kuraskan, dan banyak lagi. Mengapa aku tak setegar ibu? Tak sesabar ibu, tak sebaik ibu?, Ibu begitu kuat, membantu ayah berkebun, berdagang dipasar, dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Jadi, pantaslah tangan ibuku sangat kasar. Mengapa ibu tak pernah mengeluh sekalipun, tak pernah aku melihat ibu lelah dan capek. Apakah ibu sengaja menyembunyikannya? Menyembunykan apa yang ia rasakan? Oh, ibu..! aku jadi merasa bersalah dan berdosa kepadamu. I need you, I love you Full Mom… you are my everything… heaven miss U forever…***

Bumi Allah, 24 Dzulhijjah 1431 H

Makassar, 29 November 2010 M






CERPEN PERSAHABATAN

Eda My Friend , Where Are You?

Aku dan sahabatku seperti medan magnet, saling tarik- menarik. Memiliki keterikatan. Dan penuh daya tarik yang menarik.

Seperti surat dan prangko. Saling mengerti dan melengkapi. Selalu bersama. Saling tolong- menolong dalam hal kebaikan, of course..! ah… kurasa terlalu aneh…

Sahabatku tak pernah memberikan wajah sinis, cemberut. Tak pernah marah dihadapanku. Ia sangat menjaga perasaanku. Di saat sedihku ia selalu berusaha untuk menjadi penghiburku dengan canda dan tawanya yang khas. Dengan teka- teki dan aneka pantun yang sering ia lontarkan.

Sahabatku, seperti pelangi dimataku. Ia memberi warna dalam hidupku. Memberikan semangat motivasi dan kasih sayang. Membuatku paham akan arti sebuah persahabatan.

Sahabatku bagai bintang di galaksi. Berkerlap- kerlip dengan cahayanya. Ia selalu bangga dengan kelebihan yang dimilikinya. Dan tak pernah berkeluh kesah dengan kekurangannya. Dan tak pernah kulihat ia redup.

Sahabatku seperti seorang uztadzah. Ia senang menceramahiku tatkala aku lalai. Ia membisikkan firman- firman Allah ditelingaku. Ia selalu mengajakku untuk selalu dekat dengan sang Khalik. Dan bersamanya hatiku pun menjadi tentram. Dia lah sehabat kupandang bak malaikat di bumi ini.

Lantas apa yang kuperbuat untuk sahabatku? Apakah ia tahu bahwa sebenarnya aku juga sayang kepadanya? Apakah sahabatku tahu bahwa aku tak ingin berpisah jauh dengannya? Dan aku sangat merindukannya? Dimanakah ia kini? Bagaimana kah kabarnya saat ini?

Dalam sebuah milis di e-book kutemukan sepenggal puisi yang ingin kupersembahkan untuk sahabatku… karena aku merindukan sosok sahabatku itu.

Ada kalanya kau dan aku merasa jauh

Jauh sekali, karena dipisahkan oleh jarak dan waktu

Bahkan ketika hati terusik untuk bertemu

Seolah mendekap rindu dalam bayang semu

Dan,

Adakalanya kau dan aku merasa dekat

Dekat sekali… bahkan lebih dekat dari apa yang kita rasakan

Apa yang kita harapkan..

Dalam setiap bentang sepanjang kenangan

Saat ini . Saat itu

Dan saat yang akan datang

Wahai sahabatku

Memang aku belum mengenalmu secara mendalam

Bahkan kornea mataku yang katanya tembus pandang

Tak bisa melihat dinding- dinding tebal yang tegak menghadang…

***

Namanya Nuraedah. Sebut saja ia Eda. Kami berteman semenjak duduk dibangku kelas empat es-de. Senyumnya, tawanya yang khas. Aku masih tak dapat melupakannya hingga saat ini. Saat usiaku semakin bertambah. Menginjak angka 19 tahun. Dan kesempatan hidup pun semakin berkurang. Dan masih adakah kesempatan untukku untuk berjumpa dengannya lagi?

Eda sahabatku. Dia cerdas, baik dan ceria. Sosok bocah yang kukenal ramah tamah dan pemikirannya lebih dewasa dibandingkan dengan anak- anak seusianya. Termasuk aku. Aku yang ceroboh dan kekanak- kanakan. Suka usil dan melakukan hal- hal bodoh. Sungguh sifatku jauh berbeda dengan Eda.

***

Bermula saat pertumpahan darah di Poso. Aku telah lupa tepatnya tahun berapa peristiwa mengerikan itu terjadi. Perang saudara ataukah perang agama? entahlah.. aku benar- benar lupa apa sebab yang mengakibatkan pertumpahan darah itu terjadi. Yang mengharuskan Eda dan penduduk sipil lainnya harus berlari dan berlari sejauh mungkin untuk meninggalkan kota itu demi menyelamatkan diri dari ancaman kematian yang tak pernah diharapkannya. Kematian yang tak wajar yang mungkin saja akan berakhir dengan mutilasi menjijikkan seperti yang terekam kamera dan mewabah di media. Mereka berlari menulusuri hutan, melewati pesisir pantai nan luas. Daratan tandus lagi panas. Mendaki bukit- bukit, menyeberangi sungai, lembah selama berminggu- minggu untuk tiba di Sulawesi Selatan tepatnya di kota Bulukumba.

Yah… Eda dan keluarganya transit di kabupaten Bulukumba. Kota dimana aku tinggal. Aku tak tahu alasan pasti kenapa mereka memilih kota Bulukumba sebagai tempat untuk menyelamatkan diri dari peristiwa pembantaian yang kuanggap tak berprikemanusiaan itu. Yang kuingat. Saat aku mulai mengenal Eda. Ia hanya berkata; untunglah kami masih punya sanak saudara di sini. Mungkin itu jualah yang menjadi alasannya. Eda dengan semangat membara menceritakan ritme setiap peristiwa yang ia alami dan keluarganya saat kerusuhan di Poso beberapa tahun silam.

***

Eda pertama kali aku melihatnya diruang kelas saat ia memperkenalkan diri. Tatapan matanya yang tajam menjadikan aku agak ngeri untuk menatapnya. Awalnya kukira ia angkuh dan menjengkelkan. Ia Nampak berbeda dengan teman- teman sekelasku. Mata sipit. Rambut panjang dikepang. Berbadan pendek dan gendut.

Oh iya… bukan hanya Eda yang menjadi murid baru saat itu. Ada Naimah dan Nadera. Mereka berdua saudara kembar. Dengan nasib yang sama seperti Eda. Saat itu aku memiliki tiga teman baru sekaligus.

Beberapa minggu kemudian Eda menunjukkan bakatnya. Eda anak yang sangat cerdas. Kurasa otaknya benar- benar encer. Awalnya aku cemburu dan jengkel kepadanya. Seakan- akan mencari perhatian para guru di sekolah. Saat ujian semester ia mendapatkan nilai tertinggi. Aku benar- benar iri saat itu. Ingin rasanya kujadikan musuhku saja. Namun aku sungguh tak sanggup. Apa kira- kira yang akan kujadikan alasan untuk menjadikannya sebagai seorang musuh. Padahal ia anak yang cerdas dan lumayan baik. Kurasa lebih pantas untuk dijadikan teman. Kucoba mengalah pada keadaan saat itu. Bukankah seharusnya kujadikan motivasi untuk belajar lebih giat.

Satu tahun bersama Eda. Kami pun akhirnya akrab. Aku memutuskan untuk lebih akrab dengannya. Bersama Eda aku baru merasakan bagaimana rasanya memiliki seorang teman. Benar- benar seorang teman. Mungkin dialah sahabat sejatiku. Sedari kecil yang kurasakan adalah bagaimana rasanya memiliki teman. Hanya sebatas teman. Tak ada yang ku cap pasti sebagai sahabatku. Namun Eda benar- benar beda. Dia sahabatku dan semua terjadi diluar dugaanku.

Suatu waktu. Saat kami bermain di ruang kelas. Saling kejar- kejaran. Aku berperan sebagai seorang drakula yang haus darah saat itu. Dengan sengaja aku menggigit lengan Eda sampai kebiru- biruan. Kebiruan berarti ada darah yang mengendap dibalik kulitnya yang sawo matang. Sama sekali Eda tak menangis apalagi marah padaku. Ia hanya menjerit kesakitan. Itu pun hanya sekilas.

Keesokan harinya Eda absen. Terkirim surat untuk Bu guru yang mengisi pelajaran diruang kelas saat itu. Terkabar bahwa Eda sedang sakit. Aku mulai cemas dan tiba- tiba diselimuti rasa takut. Aku merasa akulah menjadi penyebab mengapa Eda sampai tidak hadir. Eda sakit karena aku menggigit lengannya sampai lebam.

Saat itu. Hari itu. Aku benar- benar wajib menjenguk Eda. Aku harus minta maaf atas tingkahku yang sangat keterlaluan. Bermain seakan permainan itu adalah nyata dan aku benar- benar menjadi seorang drakula yang membuat temanku ngeri melihatku dengan jubah yang sengaja kubawah dari rumah. Dengan bedak putih yang sengaja kudampulkan kewajahku. Dan lipstik ibuku yang sengaja kuambil secara diam- diam. Yang kemudian kuoleskan kewajahku seakan- akan itu adalah darah sungguhan. Dan jadilah aku seperti drakula sungguhan yang siap menyedot habis darah mangsanya. Dengan mengikuti gaya drakula ala film barat yang biasa ditayangkan dilayar te-ve. Sungguh, kepolosan seorang bocah menjadi korban cerita rekaan belaka. Malu jika melihat diriku dimasa yang telah lalu. Masa- masa dimana waktu lebih banyak kuhabiskan untuk bermain.

Sepulang sekolah aku, Tia, Nadera dan Naimah segera menuju rumah Eda yang jarakanya sangat jauh dari sekolah. Eda tinggal ditengah hutan. What? Untuk tiba dirumahnya aku harus menyebrangi sungai, melewati sawah dan kebun- kebun. Dibenakku, Eda benar- benar seorang bocah yang hebat. Dia harus melewati semua itu untuk tiba disekolah tepat pada waktunya? Everyday? Is amazing…

Dimataku Eda benar- benar berbeda. Terasa benar kehidupannya begitu dekat dengan alam. Mandi di sungai. Mencuci piring dan pakaian di sungai. Hingga buang hajat pun di sungai. Aku jadi geli membayangkannya. Padahal kita telah memasuki era modern dan semua menjadi serba canggih. Yang berarti kehidupan primitif mulai terseleksi sedikit demi sedikit.

Setibaku di rumah Eda. Dan sebenarnya rumah itu lebih layak dikatakan sebuah gubuk. Rumahnya beralaskan tanah dan dilapisi dengan tikar daun lontar. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan atapnya dari daun nipah yang telah mengering. Pohon sukun, kelapa, pisang, mangga seperti raksasa yang berjejer dihalaman rumahnya. Dibelakang rumah terdapat sebuah kandang ternak. Ada ayam, itik dan juga dua ekor kambing. Ditempat yang amat jauh dari keramaian itu ternyata ada sebuah kehidupan yang baru terjamah olehku. Ada sebuah keluarga yang berdiam. Ayah, Ibu, seorang kakak perempuan, dan adik lelaki Eda. Komplit sudah. Sungguh sebuah kehidupan yang jarang aku temui. layaknya kehidupan dalam dongeng sebelum tidur yang sering diceritakan ayahku.

Sahabatku Eda kehidupannya sungguh jauh berbeda denganku. Penampilannya yang sederhana namun otaknya cerdas. Kehidupannya benar- benar sederhana. Sedangkan aku? Terlahir sebagai anak dari orang berada namun selalu saja mengeluh dan merasa kurang dengan apa yang kumiliki. Kasur yang empuk. Eda? Dia hanya tidur diatas tikar. Untuk belajar pun Eda harus membungkuk karena tak punya meja belajar. Sedangkan aku? Aku hanya membiarkan meja belajarku diselimuti oleh debu. Dan Eda begitu gila baca. Hampir setiap hari ia berkunjung ke perpustakaan sekolah. Seakan- akan ingin melahap setiap buku yang tersusun tak beraturan lagi di rak. Sedangkan aku. Memiliki perpustakaan pribadi namun sangat jarang aku berdiam didalamnya. Apalagi sekedar untuk menyapa dan membaca buku. Padahal aku bercita- cita ingin menjadi seorang penulis.

Eda pernah berkata, “Kemampuan menulis itu berbanding lurus dengan ketekunan kita membaca”. So, berarti saya harus banyak baca untuk menjadi seorang penulis terkenal. “Ya..iyalah…” Ucap Eda saat itu, sambil tertawa dengan tawanya yang khas.

***

Hampir sembilan tahun aku tak melihat Eda. Dimanakah ia saat ini? Tak pernah kudengar lagi suaranya. Tak pernah lagi ia berpuisi untukku. Terakhir kudapatkan kabar tentangnya dari Nadera. Katanya, ia tetap melanjutkan sekolahnya. Dia beserta keluarganya kembali ke Poso saat aku melanjutkan pendidikanku di luar kota delapan tahun yang lalu.

Yang kusesalkan adalah aku tak mengucapkan salam perpisahan padanya. Aku tak mengunjunginya didetik terakhir kepergiannya. Oh sahabatku, ku hanya bisa tuliskan puisi untukmu[]

Sahabat kecilku…

Sahabat yang tak pernah kudapatkan lagi sepertimu

Sahabat yang menambah nuansa bening direlung- relung hatiku yang dulu beku

Tapi, dimanakah kau kini?

Masihkah kau ingat

Saat aku berlaku usil terhadapmu?

Saat engkau mengeluarkan air mata karenaku

Dan aku sesali…

Kepergianmu tanpa menoleh kepadaku

Aku sesali…

Tak membisikkan salam kehangatan untukmu

Sahabat kecilku…

Aku rindu…Aku rindu yang teramat sangat…

Kuingin mendekapmu dengan penuh kehangatan

SHALATKU

Karya; Arini Arief



Aku, usai berwudhu
Beranjak, menuju tempat shalatku
Memasang mukenahku
Membentangkan sajadahku
Posisiku menghadap kiblat, lurus…
Merendahkan diri ini, dihadapan- Nya

Bertakbir..! Allahu Akbar…
Kuangkat kedua tanganku
Membaca bacaan shalat
Kudiam sejenak
Ruku, bangkit, sujud, duduk
Bangkit, ruku, sujud..!
Lagi…dan lagi
Hingga beberapa rakaat shalatku
Aku duduk lama
Kemudian memberi salam.

Saat yang kunanti telah tiba.
Berdoa…
Doa…kulantunkan
Penyempurna shalatku
Meminta, mengadu, kepada Sang Khalik.
Shalatku, bukanlah shalat terakhir…

PUISI AGAIN....

Sajakku, puisiku, untukmu… negeriku

By ; Arini Arief


Kutuliskan puisi untukmu...

kata demi kata...

baris demi baris...

terukirlah deretan kalimat pendek...

yang mungkin tak cukup indah...
tak seindah puisi yg pernah kau temui.
sebenarnya jari-jari sudah letih menari-nari diatas kertas,
kertas yg tadinya putih ,kini penuh coretan tinta merah...
membakar semangat didadaku

aku tak akan bosan menulis puisi

tak akan pernah letih
hanya untukkmu...

puisiku akan membukitkan...bahwa kupeduli dan
cinta kepadamu,

wahai negeriku! !

aku ingin berkarya untukmu.,

aku ingin menulis tentangmu...

berdongeng dan bersajak untukmu
agar dunia tahu...

aku berpuisi, bersajak , menulis untukmu...wahai negeriku..
walaupun,aku tak semahir Chaeril Anwar

walaupun,tangan ini tak
selincah tangan Zawawi Imron...

tak pandai berkata-kata seperti WS Rendra..

dan membuat syair , membuat lagu
untukmu...

puisiku, sajakku...adalah tandaku
tanda bahwa aku ada

untukmu wahai negeriku...

Makassar, 19 November 2010